logo pembaruan
list

Ketokohan Adipati Karna dalam Sosok Tan Malaka;Menggugat Kebijakan dengan Sikap dan Tindakan

Facebook
Twitter
WhatsApp

Oleh : Wahyu Iryana*

KEHIDUPAN manusia selalu terus berjalan tanpa pernah mundur sedetik pun. Manusia dengan daya kreasianya, akan terus membuat kejutan-kejutan dalam hidup. Apa yang dibuat oleh manusia akan terus menimbulkan pro dan kontra, suka dan benci, patuh dan ingkar, dan seterusnya.

Efek-efek seperti itu tidak bisa dihindari oleh siapapun. Manusia akan terus berkreasi, entah itu positif atau pun negatif. Positif ataupun negatif yang menjadi efek dari sebuah perbuatan atau keputusan hanyalah sebuah cara pandang saja. Sebab negatif menurut sebagian orang, boleh jadi positif bagi orang lain. Resiko-resiko yang didapat manusia dari sebuah perbuatan atau keputusan harus disadari.

Jika manusia tidak menyadari itu, akan muncul yang namanya euforia yang berlebihan, atau frustasi yang tidak ketulungan lagi. Sebagai seorang manusia, kita semua harus sadar bahwa tidak ada keputusan yang membawa dampat positif seratus persen, atau yang mambawa dampak negatif seratus persen. Semua efek itu, sekali lagi, hanyalah sebuah cara pandang manusia lain terhadap apa yang sudah kita lakukan atau apa yang sudah kita putuskan.

Mengenai keputusan manusia yang selalu membawa dampak ganda, positif dan negatif, saya teringat akan dua tokoh, yakni Adipati Karna dan Tan Malaka. Lalu apa hubungan keduanya? Secara sekilas tidak ada hubungannya. Adipati Karna adalah tokoh wayang, sementara Tan Malaka adalah tokoh sejarah bagi Republik Indonesia. Lalu, dimana hubungannya? Kita akan mengetahui hubungannya setelah kita tahu deskripsi ceritanya.

Untuk itu, saya akan menceritakan secara singkat mengenai keduanya. Adipati Karna pada asalnya adalah seorang kusir kereta kuda dalam keluarga pandawa. Ia adalah putra Kunti yang lahir bukan lewat jalan sebenarnya, yakni lewat telinga.

Karna adalah putra Kunti dengan Bathara Guru, hubungan itu terjadi karena Kunti mempelajari ilmu yang terlarang. Kunti sendiri adalah ibu pandawa dari pernikahannya dengan Prabu Pandu. Sebelum menikah dengan Prabu Pandu, Kunti telah melahirkan putranya (uniknya dari kisah Mahabarata diceritakan Karna lahir dari telinga Kunti, karena Kunti punya ajian dari Dewa Surya), karena dianggap Aib, Karna dibuang ke sungai. Kemudian Kunti menikah dengan Prabu Pandu, dari Prabu Pandu inilah lahir tiga orang pandawa, yaitu Puntadewa, Bima, dan Arjuna.

Karna yang dibuang di sungai ditemukan oleh kusir istana pandawa, dan ia dirawat hingga dewasa. Karna yang tidak diketahui asal-usulnya itu dianggap anak angkat kusir istana saja, para Pandawa tidak tahu akan siapa Karna sebenarnya, yang mereka tahu Karna adalah anak kusir istana saja.

Singkat cerita, Karna tumbuh menjadi orang yang dewasa, ia menggantikan ayahnya sebagai kusir istana. Selain itu, ia juga berguru kepada Pandita Durna, guru para Pandawa dan Kurawa. Bahkan, dengan keseriusannya dalam belajar, Karna menjadi orang yang hebat dan bisa mengalahkan kekuatan Pandawa, khususnya Arjuna.

Rahasia akan asal-usul Karna diketahui oleh Kunti, dan pada akhirnya para Pandawa pun tahu siapa Karna sebenarnya. Namun, para Pandawa bersikap anti pati terhadap Karna yang cerdik itu. Walau Karna tahu akan siapa dia sebenarnya, ia tetap rendah hati, dan tidak menuntut yang lebih dari apa yang ia miliki. Sampai pada akhirnya, Karna hendak meminta sedikit jatah istana kepadanya, para Pandawa tidak mengabulkannya.

Arjuna adalah orang yang paling merasa disaingi oleh keberadaan Karna. Segala cara dilakukan untuk menghilangkan Karna, termasuk adu kekuatan, atau adu ketangkasan seperti memanah. Lagi-lagi Arjuna.

Karna yang meminta jatah haknya dari istana tidak dikabulkan oleh Pandawa, akhirnya ia pergi kepada Kurawa. Ia ingin menjadi pejabat di istana Kurawa, dan akhirnya Duryudana memberikan ia jabatan sebagai Adipati, dan dikenallah ia sebagai Adipati Karna.

Salah satu sumpahnya adalah ia akan membela kerajaan Kurawa dengan seluruh hidupnya, bahkan termasuk nyawanya. Hal itu ia buktikan pada suatu peperangan Baratayudha antara Pandawa dan Kurawa. Adipati Karna secara langsung berhadap-hadapan dengan Arjuna, meskipun Karna akhirnya kalah dengan siasat licik Arjuna. Yang perlu dipertanyakan adalah kenapa Karna memihak kepada Kurawa? Ada satu alasan yang diketahui dari deskripsi diatas, yaitu hak Karna tidak dipenuhi oleh Pandawa, yakni hak memiliki istana.

Selain itu, jasa Kurawa yang mengangkatnya sebagai Adipati merupakan hadiah istimewa buat Karna yang mana ia akan mengabdi kepada Kurawa hingga akhir hayatnya.

Dilain pihak, Tan Malaka adalah anak Negeri tercinta Indonesia. Dua puluh tahun ia malang melintang dalam dunia perjuangan melawan kolonialisme, imperialism, dan penjajahan. Ia dikejar-kejar oleh intelejen Belanda, Inggris, dan Amerika sebagai tokoh komunis yang sangat membahayakan kedudukan mereka dalam percaturan hidup di dunia sebagai Negara penguasa yang berbasis liberal dan kapitalis.

Tan Malaka dengan sepenuh hati berjuang demi negerinya, ia rela dibuang oleh Belanda karena dianggap membahayakan pemerintah Belanda. Dalam pembuangannya, Tan Malaka pergi antar Negara tanpa arah. Ia hanya punya satu cita-cita, yaitu memerdekakan hak-hak manusia dari segala bentuk penjajahan Negara-negara kapitalis. Ia melancong ke Filipina, Singapura, Cina, dan akhirnya ke Indonesia lagi, hal itu bisa diketahui dari bukunya yang terkenal, yaitu “Dari Penjara ke Penjara”.

Setelah Indonesia merdeka dengan proklamasi 17 Agustus 1945, Tan Malaka tidak menjadi pejabat tinggi di negeri ini. Ia tetap berjuang dikalangan rakyat bawah melawan sisa-sisa penjajahan. Ia menginginkan merdeka seratus persen. Namun, apa yang ia dapatkan? Ia dipenjara oleh PM. Syahrir sekitar tahun 1946, dan ia dikeluarkan oleh Moh. Hatta pada tahun 1948.

Apakah sudah berakhir perjuangan Tan Malaka setelah dipenjara? Tidak, ia tetap berjuang melawan sisa-sisa penjajahan yang dilakukan oleh anak negeri sendiri yang sedang menjadi penguasa. Balasan pamungkasnya adalah Tan Malaka ditembak mati oleh Tentara Nasional Indonesia, yang saat itu bernama BKR, di Kediri. Penulis tidak pernah tahu hingga saat ini, alasan apa Tan Malaka harus dibunuh, namun penulis berspekulasi ada sisi politis dari para petinggi Negara untuk melenyapkan Tan Malaka, apalagi setelah ada wasiat dari Soekarna, yakni “Bahwa jika para pemimpin revolusioner tertangkap Belanda, yakni Soekarna dan Hatta, maka tapuk kepemimpinan revolusi Indonesia diserahkan kepada Tan Malaka”. Itulah yang terjadi pada Tan Malaka, anak bangsa Indonesia, dan Bapak Republik Indonesia, yang mati di Tanah Air Indonesia ditangan anak negeri Indonesia lain yang rakus akan kekuasaan.

Dengan memahami deskripsi cerita di atas, kita akan mengetahui persamaan antara Adipati Karna dan Tan Malaka. Berikut ini beberapa persamaannya, yaitu pertama, hak-hak Adipati Karna dan Tan Malaka tidak dipenuhi oleh para penguasa. Adipati Karna berhak atas kedudukan istana yang dimiliki para Pandawa, sebab Adipati Karna adalah kakak para Pandawa dari pihak Ibu Kunti.

Namun tuntutan hak tersebut diabaikan oleh Pandawa. Begitu juga dengan Tan Malaka, haknya untuk mendapatkan perlindungan dari para penguasa Indonesia sebagai seorang pejuang tidak dipenuhi. Tan Malaka justru masuk penjara dan akhirnya dibunuh.

Kedua,  tidak dipenuhinya hak-hak tersebut, Adipati Karna dan Tan Malaka menempuh jalan lain. Adipati Karna ikut pada barisan Kurawa, meskipun Kurawa dianggap jelek dimata Pandawa. Sedangkan Tan Malaka terus bergerilya dengan rakyat bawah, tanpa pernah menikmati jabatan tinggi di Indonesia yang sudah dinikmati oleh beberapa petinggi pejuang saat itu.

Adipati Karna dianggap membelot oleh Pandawa, karena ia memihak kepada Kurawa. Namun, Pandawa tidak pernah mengoreksi diri kenapa Adipati Karna ikut Kurawa. Pandawa merasa tersaingi dengan keberadaan Karna, sebab mereka adalah adik dari Karna. Mereka ingin menjadi yang pertama, dan mereka harus melenyapkan siapa saja yang berpotensi menyaingi kedudukan mereka, termasuk Adipati Karna, sang kakak dari Ibu Kunti. Nah, hal itu juga terjadi pada para pejabat tinggi Negara Indonesia saat itu.

Nama Tan Malaka yang sudah dikenal di luar negeri dengan begitu cemerlang, apalagi Tan Malaka adalah satu-satunya perwakilan Komitern III dari Asia, membuat beberapa petinggi Indonesia saat itu merasa khawatir kalau Tan Malaka menduduki jabatan tinggi diatas mereka. Untuk itu, segala upaya dilakukan untuk meredam popularitas Tan Malaka, apalagi Tan Malaka membentuk Partai Murba sebagai media perjuangannya.

Ketiga, Adipati Karna dan Tan Malaka adalah anak negeri yang menjadi korban oleh segelintir orang yang mengaku benar atas pemerintahan Negara. Para Pandawa adalah sosok yang digambarkan sebagai kelompok yang benar dalam mengatur Negara Astina, sementara yang lain adalah orang-orang yang akan membawa kesengsaraan pada rakyatnya.

Padahal, para Pandawalah yang justru membawa kesengsaraan kepada rakyanya dengan mengadakan perang Baratayudha dengan Kurawa. Para Pandawa menuntut haknya dari Kurawa atas Negara Astina, tetapi mereka juga lalai memberikan hak kepada Karna, saudara mereka sendiri. Adapun Tan Malaka adalah orang yang menginginkan hak-hak negeri dipenuhi seratus persen oleh Belanda, tanpa ada perundingan, namun para penguasa negeri merasa bahwa Tan Malaka adalah penghalang bagi perudingan, bahkan perundingan itulah yang membuat Indonesia rugi, dan benarlah keinginan Tan Malaka untuk merdeka seratus persen dengan segala daya, harta, dan nyawa untuk terus merebut kemerdekaan dari Belanda.

Keempat, keputusan yang dilakukan oleh Adipati Karna dan Tan Malaka merupakan sebuah sikap kritis terhadap kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh para penguasa. Para penguasa yang sudah dimabuk jabatan berpandangan bahwa apa yang dilakukan oleh Adipati Karna ataupun Tan Malaka merupakan sebuah pemberontakan dan pengkhianatan, padahal para penguasa tidak mengoreksi kenapa mereka melakukan hal itu. Para penguasa menutup diri bahwa seolah-olah merekalah yang benar, dan merekalah orang-orang yang berhak menentukan kebijakan Negara ataupun organisasi. Mereka tidak sadar, bahwa Negara selalu dibentuk dengan melibatkan orang banyak.

Rakyat adalah soko guru dari dibentuknya sebuah Negara. Tanpa ada rakyat, Negara tidak akan dibentuk. Dari rakyatlah dibentuk sebuah Negara, ideologi Negara, cita-cita Negara, dan seluruh sistem kehidupan berbangsa dan bernegara. Para penguasa pada awalnya memohon kepada rakyat untuk berjuang, dan jika sudah berhasil, setelah mereka memperoleh apa yang mereka inginkan, akhirnya para penguasa tersebut meninggalkan rakyat yang membantu mereka dalam berjuang.

Sikap Adipati Karna dan Tan Malaka bukanlah sikap pemberontak, tetapi sikap kritis untuk diketahui para penguasa bahwa ada hak-hak rakyat yang tidak mereka penuhi. Dewasa ini, banyak sekali kejadian-kejadian yan menimpa negeri ini, mulai dari kasus NII, radikalisasi, hukum pancung TKW di Arab Saudi, kasus korupsi dan suap, serta berbagai fenomena problematika bangsa, perlu menjadi pijakan kritis kepada para penguasa sendiri. Para penguasa tidak bisa menutup hati, mata, dan telinga tentang seluruh kejadian yang menimpa bangsa. Sudah saaatnya, Pancasila benar-benar diaplikasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Pancasila bukan lagi sekedar simbol di dinding rumah ataupun kantor, tapi Pancasila adalah simbol bernegara yang ada dalam sanubari seluruh rakyat Indonesia tanpa terkecuali, yang membedakan Indonesia dengan Negara-negara lain di dunia ini. Sikap atau tindakan yang dilakukan para rakyat terhadap penguasa, yang menurut para penguasa adalah pengkhinatan terhadap negeri, jangan dipandang sebelah hati, tetapi itu adalah sikap kritis terhadap jauhnya harapan atau cita-cita bangsa yang dilakukan para penguasa.

Para elit negeri terlalu sibuk dengan mempertahankan kedudukan mereka. Mereka menutup hati mereka dari keluhan-keluhan rakyat. Berita yang paling menyedihkan adalah matinya seorang gelandangan karena kelaparan di negeri ini, seingat penulis berita itu ada di Sidoarjo, menunjukkan betapa cerobohnya para penguasa negeri dalam mengurusi urusan rakyat Indonesia.

Perlukah ada perang Baratayudha di negeri ini? Perang antara yang tertindas dengan penindas? Revolusi bukanlah pemberontakan, tetapi revolusi adalah perjuangan melawan penindas dan kesewenang-wenangan.

*) Penulis adalah Ketua Prodi SPI FA UIN Raden Intan Lampung.

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Berita Terkait

Copyright © pembaruan.id
All right reserved