logo pembaruan
list

Tuhan Mana yang Kau Bela? (2)

Facebook
Twitter
WhatsApp

Oleh :
Dr. H. Wahyu Iryana
Penulis, Ketua Prodi SPI FA UIN Raden Intan Lampung

SHALAT Jum’at sudah usai. Kami kelompok Hati Putih berkumpul di depan masjid. Masjid yang kami tempati memiliki halaman yang luas, diatas masjid terdapat kubah berwarna hijau dengan tanda bulan dan bintang sabit bertengger diatasnya dengan penuh kewibawaan.

Disamping masjid terdapat menara yang tinggi tempat menaruh Toa sebagai sarana untuk mengumandangkan panggilan Tuhan. Sehari lima kali aku selalu mendengar panggilan Tuhan untuk ibadah di masjid. Tidak lama kemudian, Ustadz Dewo beserta beberapa orang yang mengikutinya keluar dari masjid. Pamanku juga ada disana. Ustadz Dewo tampak gagah dengan sorban putih diatas kepalanya, baju gamisnya terurari sepanjang lutut. Ditangan kanannya tampak tongkat dari bahan kayu jati. Dalam pandanganku ia Nampak seperti Nabi Musa yang hendak memimpin orang-orang Israel pergi dari Mesir menuju tanah yang dijanjikan Tuhan di negeri Kanaan.

“Ikhwan-ikhwan yang dimuliakan Tuhan! Hari ini kita akan menyerang tempat ibadah para pengkhiatan Tuhan. Jangan sampai bumi ini ditempati oleh para pengkhianat Tuhan. Maha Besar Tuhan! Maha Besar Tuhan!,” itulah ceramah yang disampaikan oleh Ustadz Dewo sebelum kami berangkat.

“Maha Besar Tuhan! Maha Besar Tuhan!” Kami pun menyambut pekikan dari Ustadz Dewo .

Lalu kami semua menutupi wajah kami dengan kain sorban selain yang ada di kepala kami supaya tidak terkena kamera para wartawan. Ustadz Dewo menyarankan untuk menutupi wajah dari sorotan kamera para wartawan.

“Kamera itu adalah alat iblis untuk menjebak kita, supaya kita tidak menegakkan ajaran Tuhan yang paling benar. Tutupilah muka kalian supaya tidak terkena tipu daya Iblis-iblis terlaknat itu!” itulah seruan Ustadz Dewo kepada kami sebelum berangkat. Setelah memberikan motivasi yang berapi-api, akhirnya kami pun berangkat menuju tempat yang sudah ditentukan oleh Ustadz Dewo.

Dijalan-jalan, kami tetap meneriakkan kata-kata “Maha Besar Tuhan! Maha Besar Tuhan!” yang tujuannya untuk menggetarkan musuh-musuh kami. Bumi seperti bergoyang dengan langkah kami yang berderap. Sinar matahari seolah-olah memberikan sinar terangnya atas izin Tuhan kepada setiap langkah kami. Di barisan paling depan, Ustadz Dewo meneriakkan “Enyahlah kalian semua para musuh Tuhan. Hancurlah semua para pengkhianat Tuhan”.

Pamanku sendiri begitu bersemangat meneriakkan kata-kata itu disamping Ustadz Dewo. Kami semua membawa segala peralatan yang bisa dibawa, mulai dari pedang samurai hingga linggis, mulai dari kayu-kayu yang besar hingga batu-batu di pinggir jalan, semuanya menjadi alat bagi kami untuk menghancurkan pengkhianat Tuhan.

Akhirnya kami sampai di tempat yang dituju. Sebuah bangunan yang tidak begitu besar, cat bangunan berwarna putih, diatas bangungan terlihat kubah warna putih yang sudah agak kusam, dan diatasnya terlihat simbol Tuhan, yaitu bintang dan bulan sabit.

Jam sudah menunjukkan jam tiga sore, ternyata perjalanan sangat jauh dari masjid, tempat kami melakukan shalat jumat tadi. Sinar matahari tampak memberikan warna keemasan pada kubah diatas bangunan yang akan kami serang sekarang ini. Emas itu seperti asli, tidak dicat atau disepuh dengan warna emas sebagaimana yang ada di kubah masjid emas Bekasi itu.

“Tempat ini tidak layak untuk rumah Tuhan. Didalamnya ada pengkhianat Tuhan!” teriak Ustadz Dewo .

“Maha Besar Tuhan! Maha Besar Tuhan!” teriakan kami setelah Ustadz Dewo berkata.

Posisiku tepat di sisi depan bangunan itu. Aku melihat seseorang sedang berdoa di dalam bangunan itu. Pakaiannya tak jauh beda dengan ku, ia memakai peci warna hitam, sarung kotak-kotak, dan berbaju takwa. Dalam hati aku bertanya-tanya apakah itu yang disebut pengkhiatan Tuhan.

Aku kaget, saat beberapa orang dari kelompokku memaksa masuk ke tempat itu. Mereka mendobrak pintu bangunan itu sampai rubuh, dan yang lain pun ikut merusak kaca jendela. Tiang-tiang bangunan itu pun tak luput dari hajaran kelompokku. Aku melihat sekeliling, disana ada sepuluh orang polisi, mereka hanya diam saja, kemungkinan kalah jumlah dengan kelompok kami yang hampir mencapai dua ratus orang.

Beberapa wartawan juga tampak dengan membawa kamera-kamera mereka. Lampu blitz dari kamera-kamera wartawan terus mengabadikan kegiatan kami, kegiatan untuk menghancurkan tempat pengkhianat Tuhan. Aku sendiri tidak mau ambil pusing akan hal itu.

Beberapa orang yang tadi memaksa masuk sudah keluar dengan menyeret orang yang berdoa dalam bangunan tadi. “Ini adalah pengkhianat Tuhan. Maha Besar Tuhan! Maha Besar Tuhan!” tiba-tiba orang yang menyeret orang tadi mendaratkan pukulannya ke tubuh orang itu. beberapa orang pun ikut memukuli orang itu.

Aku dan Dasim ditugaskan untuk berjaga-jaga bila ada penyerangan dari kelompok lain ke kelompok kita. Maka dalam penyerangan kali ini, aku dan Dasimhanya melihat saja. Aku melihat Ustadz Dewo yang masih berorasi tentang para pengkhianat Tuhan.

“Naiklah kalian semua ke kubah itu. Hancurkan kubah itu. Kubah itu tidak layak ada di tempat ini!” Seru Ustadz Dewo. Beberapa orang pun lalu naik ke atas bangunan itu.

Mereka dengan beringas menghancurkan kubah itu. Tak lama kemudian, banyak orang yang naik ke atas bangunan ikut menghancurkan kubah itu. Pandanganku beralih ke orang yang dipukuli rame-rame tadi. Aku melihat darah segar keluar dari kepalanya, ia tak melawan, dan aku melihat dengan jelas dari mulutnya yang komat-kamit menyebut beberapa kalimat. Aku mencoba lebih dekat ke orang yang hampir sekarat itu. Sayup-sayup aku mendengar dari mulut orang itu “Maha Suci Tuhan! Tidak ada Tuhan selain Dia yang Maha Hidup dan Maha Berdiri, dan saya bertobat kepadanya!”.

Dalam hati aku bertanya, apa bedanya dia dengan kita.
Mataku ku alihkan ke kubah yang sudah mulai hancur, simbol bulan sabit dan bintang sudah tidak ada lagi disana. Orang-orang yang ada diatas bangunan itu pun turun, mereka beramai-ramai menghancurkan bangunan itu. Akhirnya seluruh kelompok kami ikut menghancurkan bangunan itu.

Orang yang tadi berdoa dalam masjid itu akhirnya terinjak-injak oleh kaki-kaki kelompok kami yang bersemangat menghancurkan bangunan itu. Aku melihat orang itu sudah tidak berkomat-kamit lagi. Dia diam, dari mulutnya mengalir darah kental, aku mencoba mengamatinya lebih dekat, dia diam. Diam untuk selamanya. Bersamaan dengan itu, dengan jelas aku melihat bangunan itu hancur, bangunan dimana tadi ada orang berdoa kepada Tuhan di dalamnya. Dan jelas pula dimataku Simbol Bulan Sabit dan Bintang diinjak oleh orang-orang kelompokku.

“Apa yang mereka lakukan sebenarnya?,” tanyaku kepada Dasim.

“Mereka menghancurkan tempat pengkhianat Tuhan.”
“Pengkhianat Tuhan? Maksudmu?” Bukankah mereka sama dengan kita?”

“Tidak! Mereka tidak sama dengan kita. Mereka memiliki ajaran tersendiri, bahkan mereka meyakini ada nabi setelah nabi yang kita yakini itu. Bukankah itu pengkhianat Tuhan!”

“Lalu apa salahnya dengan bangunan ini?”
“Bangunan ini tidak salah. Hanya saja jika bangunan ini tidak dihancurkan, mereka akan terus mengkhianati Tuhan”.

“Lalu bagaimana dengan orang yang mati itu?” Aku menunjuk ke orang yang dihajar oleh kelompokku.
“Biarkan dia mati. Dia mendapat apa yang seharusnya ia dapat”.

Aku masih bingung dengan semua ini, dalam lirih aku berkata kepada Dasim yang berdiri tepat disampingku “Kalau hari ini kita berhasil menghancurkan rumah Tuhan dan membunuh hamba-Nya, tidak menutup kemungkinan suatu saat nanti kitapun akan membunuh Tuhan itu sendiri!”.

Bandung, 3 Oktober 2023

Selesai.

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Berita Terkait

Copyright © pembaruan.id
All right reserved