logo pembaruan
list

Wayang Kulit: Lakon Astrajingga Ngangsu Kaweruh

Facebook
Twitter
WhatsApp

Oleh: Dr Wahyu Iryana
Penulis, Ketua Prodi Sejarah Peradaban Islam FA UIN Raden Intan Lampung. Anggota TACB.

MENYONGSONG kehadiran mahasiswa baru penulis mecoba memotren suasa kedaban manusia modern dengan narasi budaya wayang, ada cerita Wayang Kulit dengan Lakon Astrajingga Ngangsu Kaweruh sangat popular di masyarakat Nusantara.

Masyarakat Nusantara meyakini budaya Wayang yang diadopsi dari India seperti yang dikisahkan dalam kisah Mahabarata dan Ramayana kemudian dipadu-padankan oleh ajaran Raden Umar Said atau Sunan Kalijaga menjadi sebuah hiburan, tontonan sekaligus tuntunan.

Tuntunan yang membuat manusia berjalan pada arah yang benar tuntunan keimanan yang berdasarkan ajaran Agama yang rahmatan lil alamin, walaupun kita semua tahu bahwa Kisah Mahabarata dan Ramayana merupakan kitab sakral agama Hindu di India.

Sedangkan tontonannya adalah sebuah pertunjukan yang menjadikan masyarakat terhibur dengan kegiatan tersebut. Seiring berkembangnya waktu, nilai filosofis dan historis tentang pertunjukan wayang kulit yang awalnya untuk mensyiarkan agama Islam lambat laun oleh para dalang dijadikan sebagai ajang hiburan seperti pernikahan, khitanan, dan lain sebagainya.

Baca Juga :


Karenanya tulisan ini menggunakan pendekatan deskripstif historis bahwa dengan budaya-budaya yang telah ada sejak zaman Walisongo dan dilestarikan karena dengan pendekatan sejarah akan mengetahui bagaimana pentingnya merawat dan menjaga budaya tersebut.

Tumbuh suburnya budaya Wayang Kulit yang ada di wilayah Luar Jawa seperti Lampung tidak lepas juga dari tata letak kotanya yang berada di Selat Sunda, yang memungkinkan budaya pesisir masa lalu akan terus melekat membayang-bayangi peradaban sang Bumi Rua Jurai ini.

Lalu apa saja lakon yang dibawa Sunan Kalijaga dalam mengisahkan cerita-cerita wayang? Pertanyaan ini bisa dijawab apabila kita menonton sampai tuntas pertunjukan wayang yang ada di wilayah Pulau Jawa yang menyebar ke Pulau lain seperti di daerah Lampung dengan Ki Dalang yang mempunyai citarasa humor dan kaya nalar budaya yang tinggi.

Lakon gubahan Sunan Kalijaga yang sangat populer adalah Jimat Kalimahsyahda. Ada lakon Carangan Dalang misalnya; Bagal Buntung Gugat Sikil, Jaka Intip, Gareng Ngadu Jago, Cungkring Dadi Raja, Semar Lungakaji, Surya Mustika Jati, Pandawa Gupah dan sebagainya.


Lakon Carangan adalah lakon karangan yang keluar dari kisah Mahabarata dan Ramayana, namun ada benangmerah yang mengambil latar epik dari Negara Astina dan Amarta sebagai penggalan kisah yang ditambahkan tokoh Panakawan Semar sepanakputu sebagai simbol para Walisanga penyebar Islam di Tanah Jawa.

Sosok Semar Kudapawana atau Semar Badranaya diyakini masyarakat kecil dimunculkan oleh Kanjeng Sunan Kalijaga. Sebagai simbol masyarakat jelata yang hidup apa adanya yang oleh Karl Marx disebut kaum Proletar, atau oleh Ali Syariati disebut kaum Mustadafin.

Cerita Astrajingga Ngangsu Kaweruh dimulai dari setting cerita di rumah Semar Kudapawana di daerah Karang Tumaritis, Desa Pecantilan terdengar ribut-ribut bahwa Astrajingga pergi dari rumah. Ketika semar menanyakan kepada Dawala, ia hanya geleng-geleng kepala. Begitupun ibu Astrajingga, Dewi Sudiragen yang menangis tidak hentinya, merasakan kehilangan anak kesayangannya.

Selidik punya selidik, ternyata Astrajingga sedang mencari padepokan peguron untuk sabdaguru (menuntut ilmu), Astrajingga bercita-cita pengen jadi orang berpangkat seperti gusti Arjuna sebagai orang yang dianggap berhasil membangun negeri karena mengutamakan pendidikan.


Memang peristiwa penting yang harus disorot dewasa ini adalah tentang maraknya penerimaan mahasiswa baru dibelbagai peguron. Seperti Peguron Sokalima pimpinan Rektor Dorna Begawan Sokalima, Peguron Tebala Suket pimpinan Begawan Wanayasa, Peguron Manikloka pimpinan Rektor Resi Manikmaya dan masih banyak peguron lain yang tak kalah bagusnya di Negara Amarta yang di pimpin Prabu Yudistira tersebut.

Astrajingga yang pergi dari rumah satu tahun yang lalu, hanya berbekal peluit di tangannya, ia tidak minta uang saku dari Semar ayahnya, ataupun sebungkus nasi untuk bekal diperjalanan yang ia minta hanya doa dari Semar dan ibunya Dewi Sudiragen.

Berbekal peluit Astrajingga mendapatkan uang yang sangat banyak dari jerih payahnya menjadi tukang palkir. Uangnya ia sisihkan untuk menabung demi cita-citanya masuk peguron yang di cita-citakan.

Maklum, Astrajingga adalah satu dari sekian banyak orang yang tidak beruntung di Negeri Amarta. Ayah Astrajingga hanya berpenghasilan pas-pasan tidak cukup untuk membiayai sekolah anak-anaknya, bahkan untuk makan sehari-hatipun sangat sulit.


Astrajingga yang terlahir dalam lingkungan keluarga miskin serba kekurangan, telah membuka mata kita semua, bahwa perjuangan hidup itu harus disertai dengan pengorbanan Jer Besuki Mawa Bea. pada waktu Astrajingga masih aktif mengabdi di keraton Amarta mengikuti Semar, ia telah melakukan terobosan-terobosan yang progresif.

Salah satu yang dilakukan Astrajingga ketika berada dilingkungan Keraton Amarta adalah membentuk Desa Siaga, dan membentuk Forum Silaturahim Rakyat Raja (FSRJ) yang dibentuk pada era akhir kepemimpinan Pandawa sebagai media komunikasi masyarakat kecil dengan rajanya, walaupun kemudian Astrajingga lebih memilih untuk pulang ke desa kelahirannya di Karang Tumaritis untuk kembali bertani dan berladang, terakhir Astrajingga bercita-cita ingin menuntut ilmu kembali.

Zeitgest benar-benar memberikan persiapan kepada Astrajingga untuk memenuhi panggilan zamannya Hal tersebut merupakan bukti apa yang telah dilakukan Astrajingga merupakan legitimasi perjuangan rakyat kecil yang ingin mengubah taraf hidupnya menjadi lebih baik.

Dalam nalar kaum pinggirin seperti Astrajingga , minimal ada dua arti penting perlunya mengenyam pendidikan dalam konteks pergumulan dunia pendidikan mutakhir.


Pertama, pendidikan adalah wujud kongkrit dari upaya menggiring masyarakat awam ke ruang wahana pembelajaran ilmu pengetahuan berkarakter, Selama 32 tahun, rezim Korawa Astina, dunia pendidikan telah dihegemoni sebagai anak tiri dengan mengurangi anggaran negara ke Departemen Pendidikan, dampaknya nasib Umar Bakri yang selalu di nomer duakan, padahal pendidikan adalah ujung tombak lahirnya generasi penerus bangsa.

Ternyata pengebirian dunia pendidikan itu gagal. Menjamurnya perguron-perguron baru di dunia pendidikan turut menyemarakkan eforia pendidikan pasca tumbangnya rezim Korawa Astina.

Maka, banyak munculnya peguron-peguron baru dalam ruang public adalah suatu keniscayaan yang sulit untuk dihindari. Kedua, pendidikan juga berarti partisipasi public dalam rangka ikut berperan aktif dalam rangka ikut membantu memecahkan persoalan bangsa.

Orang kecil, Seperti Astrajingga bisa mengenyam dunia pendidikan juga sudah bersyukur, setidaknya dengan menuntut ilmu (sabdaguru), hidupnya dapat berubah ke arah yang lebih baik. Permasalahannya sekarang, keinginan orang-orang seperti Astrajingga yang mempunyai keinginan tinggi untuk mengubah nasibnya, acapkali paradoksal dengan realitas pendidikan bangsa saat ini.


Terjadi kontradiksi antara aspek potensial yang hendak dikembangkan dengan aspek riil yang berkembang di lapangan. Apabila itu yang terjadi cita-cita Astrajingga untuk menjadi orang berpangkat seperti junjunannya Raden Arjuna dan Prabu Pandu Dewanata, ibarat kata hanya punduk merindukan bulan.

Sangat naïf jika ritual penerimaan mahasiswa baru dijadikan proses ceremony belaka tanpa memberikan arah yang jelas bagi peserta didik ke depan. Karena itu, layak diingatkan dan dipertanyakan proses ajang penerimaan mahasiswa baru apabila menyimpang dari tujuan dan visi pendidikan.

Kewajiban Menuntut Ilmu
Menuntut ilmu wajib hukumnya bagi laki-laki dan perempuan, kata-kata gusti Pandawa itu yang selalu ternyiang dalam diri Astrajingga, di lihat dari watak intrinsik maupun realitas di lapangan, dunia pendidikan adalah variable penting dan harus diintegrasikan ke dalam proyek-proyek pengembangan yang berkelanjutan.

Dalam konteks masyarakat kecil, seperti Astrajingga, kenyataan perlunya rekonstruksi pendidikan untuk memainkan peran yang urgen dalam mengawal bangsa adalah suatu yang mutlak harus dilakukan.


Dalam pendidikan terdapat pemberdayaan civil society yang dapat memperkokoh norma-norma karakter berbangsa dalam menstimulasi dan memberikan nilai positif bagi tumbuh kembangnya ilmu pendidikan yang maju berstandar internasional.

Karena sejatinya partisipasi masyarakat arus bawah terhadap pendidikan sangat bergantung pada pengetahuan dan pemahaman akan proses-proses, fungsi, dan peran serta tingkat penghasilan.

Seperti penelitian yang dilakukan oleh Verba (1995) yang dilakukan terhadap masyarakat Amerika menunjukan, warga yang paling banyak terlibat dalam partisipasi politik adalah mereka dari kalangan yang menikmati pendidikan lebih baik (better educated classes).

Harus diperhatikan sosok Astrajingga bukan hanya bertahan sebagai seorang yang hidup berharap belas kasih orang lain, namun Astrajingga juga dari waktu ke waktu berupaya Keras agar hidupnya berubah, tentunya kea rah yang lebih baik.


Masyarakat kecil; seperti Astrajingga , akan selalu mendambakan kesejahtaraan hidup untuk mencetuskan gagasan-gagasan idiologi yang bebas tanpa tedeng aling-aling. Bahwa dalam gagasan pemikirannya, masyarakat kecil selalu menegaskan semangat kebersamaan, gotong royong dan prinsip kesatuan silih asah, silih asih, silih asuh.

Artinya apa ini semua? Pada masa krisis nasionalisme dewasa ini, penulis berpendapat bahwa gejala gerakan radikalisme dan separatisme adalah dampak dari kurangnya rasa kesatuan dan persatuan bangsa, sehingga gerakan radikalisme tersebut membutuhkan ruang gerak beremansipasi.

Yang dibutuhkan rakayat kecil, seperti Astrajingga bukan tanda jasa bukan pula segenggam emas. Namun, keseriusan pemerintah untuk mewujudkan kedamaian, ketentraman hidup, dan kesejahtraan untuk kejayaan negeri.

Ritual perhelatan penerimaan mahasiswa baru di berbagai perguron, yang menghadirkan para siswa dari berbagai daerah yang tujuannya sangat mulia, baiknya harus ditopang dengan penyambutan yang baik pula, layaknya seorang pengantin.


Bersyukurlah mereka yang mendapat kesempatan mengenyam pendidikan sampai tingkat perguruan tinggi, setidaknya bisa menjadi proses menuju tangga kesuksesan.

Untuk itu bagaimana media pendidikan diberbagai kampus dapat berimplikasi positif bagi perkembangan dunia pendidikan dalam kerangka yang lebih luas secara bersamaan dengan pengentaskan problem bangsa yang semakin carut marut.

Semua kalangan berharap bahwa dunia pendidikan dapat menjadi mediasi untuk menyembuhkan sakit yang diderita bangsa ini, menuju suasana kondusif di segala bidang. Dalam hati Astrajingga hanya berujar mugi jembar pangaweruh.

Selamat datang para mahasiswa baru semoga bisa ngangsu kaweruh sampai bentas. Cinta boleh putus tetapi kuliah harus sampai lulus, karena jika tidak ada pundak untuk bersandar masih ada pindang sruit Lampung untuk dimakan.

Waallahua’lam.

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Berita Terkait

Copyright © pembaruan.id
All right reserved