DALAM konteks politik Lampung belakangan ini, saya teringat ucapan Almarhum Musa Zainuddin, seorang politisi Lampung dan mentor saya, yang mengatakan bahwa politik tidak boleh dangkal atau sekadar untuk pencitraan semata, apalagi hanya ‘nyem nyem nyem’.
Menurutnya, politik haruslah berlandaskan pada prinsip-prinsip yang jelas dan bertanggung jawab, tidak hanya bertujuan untuk kepentingan pribadi, keluarga, atau kelompok tanpa memperhatikan dampaknya secara mendalam.
Di Pilkada Lampung, munculnya sejumlah tokoh muda menjadi fenomena politik menarik. Politik anak muda, yang terbuka dan mudah dipahami publik, dapat dijelaskan melalui beberapa aspek utama.
Anak muda, khususnya di Lampung, sangat aktif di media sosial seperti Twitter, Instagram, dan TikTok. Mereka menggunakan platform ini untuk menyuarakan pendapat, mengkritik kebijakan, dan membangun gerakan sosial.
Keterbukaan di media sosial memungkinkan opini dan sikap politik mereka mudah diakses dan dipahami oleh publik. Mereka sering mengorganisir diri melalui tagar atau mempublikasikan foto bersama tokoh untuk mempengaruhi opini publik.
Anak muda juga aktif dalam isu-isu sosial seperti lingkungan, hak asasi manusia, dan keadilan sosial. Mereka tidak hanya menyuarakan pendapat tetapi juga terlibat dalam demonstrasi, kampanye, dan inisiatif sosial, menunjukkan komitmen mereka terhadap perubahan sosial.
Generasi muda Indonesia umumnya lebih terdidik dan memiliki akses informasi yang lebih luas, membuat mereka kritis terhadap kebijakan pemerintah dan berani mengekspresikan pandangan politik mereka secara terbuka. Diskusi di kampus, seminar, dan forum-forum diskusi lainnya menjadi wadah untuk mengembangkan dan menyebarkan pandangan politik.
Banyak anak muda mulai terlibat dalam politik dengan menjadi calon legislatif atau mendukung kampanye politik. Keterlibatan mereka tidak hanya meningkatkan representasi generasi muda tetapi juga memperjelas posisi politik mereka di mata publik.
Namun demikian, politik yang terlihat di permukaan cenderung terkesan Childish dan kurang matang, mencerminkan kurangnya pengalaman dalam menghadapi dinamika politik. Kata-kata ‘politik nyem nyem nyem’ menyoroti bahaya praktik politik yang dangkal dan hanya untuk pencitraan.
Meskipun demikian, disadari betul jika generasi muda terbuka terhadap inovasi dan teknologi baru, yang mempengaruhi gaya politik mereka. Penggunaan teknologi untuk kampanye digital, analisis data, dan komunikasi politik membuat gaya politik mereka lebih dinamis dan responsif terhadap perubahan.
Secara keseluruhan, gaya politik anak muda yang terbuka dipengaruhi oleh kemajuan teknologi, literasi politik yang tinggi, keterlibatan dalam isu-isu sosial, dan partisipasi dalam politik elektoral. Kombinasi ini memungkinkan mereka untuk mengekspresikan pandangan politik secara transparan dan mempengaruhi opini publik secara efektif (itu harapannya).
Namun, tantangan bagi politisi muda adalah untuk tidak terjerumus ke dalam praktik ‘politik nyem nyem nyem’ yang hanya mengutamakan pencitraan tanpa mempertimbangkan dampak yang lebih dalam. Tentu menjadi harapan kita semua, akan lahir politisi muda yang sesuai dengan ekspektasi publik akan pemimpin yang ideal.
Di ahir tulisan ini, saya ingin menyampaikan bahwa munculnya banyak sosok muda atau lebih konkrit saya sebut sebagai politisi muda dalam Pilkada Lampung membawa angin segar dengan potensi energi baru dan ide-ide inovatif.
Namun, hal ini juga dapat menjadi ancaman jika tidak disertai dengan pengalaman yang cukup atau komitmen yang kuat terhadap integritas dan kepentingan masyarakat.
Perubahan yang dibawa oleh politisi muda perlu diimbangi dengan kemampuan untuk mengelola tantangan dan kompleksitas dalam pemerintahan, sehingga transformasi yang diharapkan dapat terwujud secara positif dan berkelanjutan bagi daerah. Tentu harapannya agar tidak sekedar menjadi ‘Politik Omon-Omon’ apalagi ‘Politik Nyem Nyem Nyem’.
Wallahualam