PEMBARUAN.ID – Lampung, sebuah provinsi yang kini menjadi panggung kebangkitan dinasti politik lama, menyaksikan dua sosok dari klan Zainal Abidin Pagaralam (ZAP) yang kembali menancapkan pengaruhnya dalam kancah politik nasional dan daerah.
Melalui pemilihan umum terbaru, Rycko Menoza SZP dan Handitya Narapati SZP, kedua putra dari Mantan Gubernur Lampung, Sjachroedin ZP, berhasil merebut kursi di DPR RI dan DPRD Lampung, menandai babak baru dominasi keluarga dalam politik lokal.
Rycko Menoza SZP: Dari Bupati ke Senayan
Rycko, dengan catatan suara mencengangkan sebanyak 53.813 dari Dapil 1 Lampung, memperlihatkan kekuatan politik yang tak terbantahkan. Ya, tak tanggung-tanggung, sekelas Sekjen DPP Golkar Letjen TNI (Purn.) Lodewijk Freidrich Paulus ditaklukkannya.
Berbekal pengalaman luas mulai dari jabatan bupati Lampung Selatan hingga rangkaian posisi strategis dalam berbagai organisasi, Rycko terpilih sebagai anggota DPR RI, membawa visi pembangunan yang inklusif dan berkelanjutan ke tingkat nasional.
Handitya Narapati SZP: Pengaruh Lokal yang Berkembang
Di sisi lain, Handitya Narapati, dengan 9.575 suara dari Dapil 1 Kota Bandarlampung untuk DPR Lampung, menunjukkan kekuatan politik klan ZAP di tingkat lokal.
Pendidikan dan pengalaman internasional Handitya, bersama dengan rekam jejaknya di sektor agrowisata dan pendidikan, memberi indikasi kuat tentang diversifikasi keahlian dan potensi kepemimpinan baru dalam pemerintahan daerah.
Dinasti Politik: Antara Warisan dan Inovasi
Pertanyaan mengemuka, apakah keberhasilan Rycko dan Handitya merupakan hasil dari warisan politik keluarga atau bukti kapabilitas individu mereka?
Analisis mendalam mengenai jejak karir keduanya mengungkapkan bahwa kombinasi dari keduanya mungkin adalah jawabannya.
Dukungan politik keluarga ZAP, tanpa diragukan lagi, memberikan landasan yang kuat. Namun, dedikasi dan inovasi yang mereka bawa ke meja politik juga tidak bisa diabaikan.
Menggali Lebih Dalam: Kritik dan Harapan
Tak terelakkan, kemenangan Rycko dan Handitya memicu perdebatan tentang dinasti politik dan pengaruhnya terhadap demokrasi lokal.
Kritikus menyoroti potensi risiko nepotisme dan konsentrasi kekuasaan, sementara pendukung menegaskan pentingnya pengalaman dan stabilitas yang dibawa oleh nama besar.
Di tengah polarisasi pendapat ini, warga Lampung dan pengamat politik menunggu dengan penuh harap, akankah klan ZAP membawa angin perubahan yang dijanjikan, atau apakah mereka akan terjebak dalam bayang-bayang warisan politik mereka sendiri?
Sebagai simbol kebangkitan klan ZAP, Rycko dan Handitya berdiri di persimpangan jalan antara tradisi dan modernitas, di mana setiap langkah mereka akan ditelisik sebagai barometer masa depan politik Lampung. Apa yang akan mereka wariskan? Sebuah sistem yang lebih inklusif dan transparan, atau sekedar lanjutan dari sebuah dinasti? Waktu, nantinya, akan menjadi hakim terakhir. (***)