Scroll untuk baca artikel
iklan
SUDUT PANDANG

Metro: Kota Nol Kilometer di Terang Ramadan

×

Metro: Kota Nol Kilometer di Terang Ramadan

Share this article

Oleh: Dr Wahyu Iryana
Sejarawan dan Penyair dari UIN Raden Intan Lampung

JIKA kita tarik garis dari peta sejarah Lampung, Metro adalah kota yang lahir dari kehendak modernisasi kolonial. Kota ini bukan hasil evolusi alamiah dari pemukiman adat, melainkan anak kandung transmigrasi yang dibidani langsung oleh pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1937. Saat itu, Metro disiapkan sebagai pemukiman baru bagi para pendatang dari Pulau Jawa yang digiring ke Sumatra dengan janji tanah subur dan kehidupan lebih baik.

Namun, siapa sangka, kota yang dulu disebut “tanah kosong” ini kini menjelma sebagai kota terbesar kedua di Lampung setelah Bandar Lampung. Dari titik nol peradaban, Metro membangun dirinya dengan tekad baja, melahirkan budaya urban yang unik di tengah denyut agraris yang masih bertahan.

Dari Nol ke Kota Pendidikan

Metro bukan hanya kota administrasi, tetapi juga kota ilmu. Julukan “Kota Pendidikan” bukanlah isapan jempol belaka. Sejak era 1980-an, kota ini sudah menjadi magnet bagi pelajar dari seluruh penjuru Lampung. Dengan berbagai perguruan tinggi seperti IAIN Metro, Universitas Muhammadiyah Metro, dan STKIP PGRI, kota ini terus memantapkan diri sebagai pusat keilmuan di Lampung bagian tengah.

Namun, apakah Metro memang benar-benar kota pelajar? Atau sekadar tempat kos-kosan murah bagi mahasiswa yang malas pulang ke kampung halaman?

Seperti kota pelajar lainnya di Indonesia, Metro punya problem klasik: semakin banyak mahasiswa, semakin menjamur warung kopi. Mungkin, ini bentuk evolusi ruang akademik yang lebih santai. Jika dulu diskusi intelektual berlangsung di perpustakaan, kini teori Karl Marx bisa dibahas sembari menyeruput kopi susu di angkringan dekat kampus.

Ramadan dan Hiruk-Pikuk Kota Metro Lampung

Bulan Ramadan selalu membawa warna berbeda bagi Metro. Jalanan yang biasanya lengang berubah menjadi lautan manusia menjelang berbuka puasa. Pasar Takjil muncul di hampir setiap sudut kota, dari Tejo Agung sampai 15 A, menawarkan segala jenis kudapan, dari kolak pisang hingga gorengan yang minyaknya mungkin sudah dipakai tiga hari berturut-turut.

Jika ada satu tempat yang menjadi pusat keramaian Ramadan di Metro, jawabannya adalah Samber Park. Area ini menjelma menjadi alun-alun dadakan, tempat warga berburu makanan berbuka, nongkrong, atau sekadar menikmati suasana.

Uniknya, Ramadan di Metro juga diwarnai dengan tradisi ronda sahur yang makin hari makin kreatif. Jika dulu hanya bedug dan kentongan, kini grup ronda sahur membawa speaker portable, menyetel musik remix, bahkan kadang melantunkan shalawat dengan gaya hip-hop.

Namun, Ramadan juga membawa tantangan bagi Metro. Kota yang relatif tenang ini sering kali kewalahan menghadapi arus mudik lokal. Mereka yang bekerja di Bandar Lampung atau daerah lain pulang kampung, menyebabkan lonjakan aktivitas di terminal dan jalanan utama. Polisi lalu lintas mendadak jadi profesi paling sibuk, mencoba mengurai kemacetan yang entah bagaimana bisa muncul di kota sekecil ini.

Membangun Masa Depan, Meninggalkan Jejak Sejarah

Seiring waktu, Metro terus berbenah. Jalanan diperlebar, infrastruktur diperbaiki, dan ruang hijau mulai diperhatikan. Namun, ada satu pertanyaan yang kerap muncul: apakah Metro bisa tumbuh tanpa kehilangan identitasnya sebagai kota kecil yang nyaman?

Di satu sisi, modernisasi membawa kemajuan, tetapi di sisi lain, Metro tidak boleh menjadi sekadar bayang-bayang Bandar Lampung. Kota ini harus menemukan ciri khasnya sendiri, sesuatu yang membedakannya dari kota-kota lain di Sumatra.

Mungkin, jawabannya ada pada sejarahnya sendiri. Sebagai kota yang lahir dari nol, Metro adalah simbol perjuangan dan harapan. Sebuah kota yang tidak pernah lelah berlari, terus mengejar impian, meski kadang harus terengah-engah di tengah laju zaman.

Penulis coba memberi syair untuk kota Metro di Riuh Cahaya Ramadhan:

Di perempatan jalan, anak-anak berlarian,
mencari takjil di warung gerobak,
di antara aroma gorengan yang melayang
dan suara azan yang hampir tak terdengar.

Metro, kota kecil yang menggeliat,
dari titik nol, ia membangun harapan,
seperti lentera di tengah sawah,
tak pernah redup meski diterpa angin.

Ramadan datang dengan cahaya neon,
pedagang kaki lima menata dagangan,
di trotoar yang dulu lengang,
kini penuh tawa dan doa-doa lirih.

Di sebuah angkringan, mahasiswa diskusi,
tentang Marx, Foucault, dan harga BBM,
sambil menunggu sahur yang masih lama,
dan kantuk yang enggan datang.

Metro, kau bukan sekadar kota kecil,
kau adalah titik mula,
tempat cahaya menemukan jalannya,
dan sejarah terus menulis dirinya sendiri.

Wallahu’alam


Berlangganan berita gratis di Google News klik disini
Ikuti juga saluran kami di Whatsapp klik disini

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *