Oleh : Dr. Fatih Fuadi, M.S.I
Ketua Gusmut Febi UIN Raden Intan Lampung
RAPAT paripurna telah selesai. Selembar sumpah jabatan telah diikrarkan. Gubernur baru kini resmi menjabat. Namun, di luar gedung parlemen yang sejuk oleh pendingin ruangan, masalah-masalah lama tetap bergelayut di udara: kemiskinan yang masih tinggi, pengangguran yang mencemaskan, dan ketimpangan ekonomi yang terus melebar.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), tingkat kemiskinan di Lampung pada 2022 mencapai 13,49%, lebih tinggi dibandingkan rata-rata nasional yang berada di angka 9,71%. Artinya, lebih dari satu juta warga Lampung hidup di bawah garis kemiskinan.
Di tengah kondisi ini, gubernur baru diharapkan tidak sekadar datang membawa janji, tetapi benar-benar menghadirkan solusi. Salah satu tawaran yang relevan adalah pendekatan ekonomi Islam, yang menitikberatkan pada keadilan sosial, distribusi kekayaan yang merata, dan pembangunan berbasis keberkahan.
Tapi, mari kita realistis. Bisakah ekonomi Islam benar-benar menjadi kunci mengatasi persoalan ekonomi Lampung? Ataukah ia hanya akan menjadi jargon politis yang menguap bersama angin pantai Kalianda?
Dari Zakat Produktif hingga Pertanian Syariah
Ekonomi Islam bukan hanya soal halal-haram dalam transaksi keuangan. Ia juga bicara tentang pemerataan ekonomi. Salah satu instrumen yang dapat dimaksimalkan adalah zakat produktif, yakni dana zakat yang dialokasikan untuk modal usaha masyarakat miskin.
Menurut Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS), potensi zakat di Lampung mencapai Rp1 triliun per tahun. Jika dikelola dengan baik, angka ini bisa menjadi penyokong utama program pemberdayaan ekonomi. Namun, realitasnya, dana zakat selama ini lebih banyak disalurkan dalam bentuk konsumtif, bukan untuk menciptakan kemandirian ekonomi.
Gubernur baru perlu menjadikan pengelolaan zakat ini sebagai prioritas, dengan menggandeng lembaga amil zakat, perguruan tinggi, serta dunia usaha agar zakat produktif benar-benar menjadi penggerak ekonomi rakyat.
Selain zakat, sektor pertanian—yang menyumbang 25% dari Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Lampung—juga bisa didorong dengan prinsip ekonomi Islam. Salah satunya dengan penguatan pertanian organik berbasis syariah, yang tidak hanya menghasilkan produk berkualitas tetapi juga menjaga keseimbangan lingkungan.
Di Jepang, konsep halal organic farming sudah lama diterapkan, menggabungkan prinsip pertanian berkelanjutan dengan kehalalan produk. Lampung, sebagai salah satu lumbung pangan nasional, seharusnya bisa menerapkan model serupa, apalagi dengan besarnya permintaan pasar ekspor untuk produk halal.
UMKM dan Keuangan Syariah: Antara Harapan dan Tantangan
Lampung memiliki lebih dari 200 ribu usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), yang menyumbang hampir 60% terhadap PDRB daerah. Namun, masalah klasik yang dihadapi UMKM tetap sama dari tahun ke tahun: modal usaha yang terbatas dan akses pembiayaan yang sulit.
Di sinilah peran lembaga keuangan syariah menjadi krusial. Sayangnya, meskipun pertumbuhan bank syariah di Lampung mencapai 25% per tahun, banyak pelaku usaha yang masih ragu untuk beralih dari sistem konvensional.
Ada tiga alasan utama: kurangnya literasi keuangan syariah, anggapan bahwa prosedur bank syariah lebih rumit, serta stigma bahwa keuntungan di bank syariah lebih kecil dibanding bank konvensional.
Pemerintah daerah bisa turun tangan dengan membuat program kemitraan antara UMKM dan lembaga keuangan syariah, sekaligus menggelar edukasi masif agar masyarakat lebih memahami manfaat sistem ekonomi berbasis syariah.
Mimpi Koperasi Syariah: Dari Wacana ke Aksi
Koperasi syariah sebetulnya bisa menjadi solusi bagi masyarakat yang membutuhkan akses keuangan tanpa riba. Namun, jumlah koperasi syariah di Lampung masih sangat terbatas. Pada 2022, hanya ada sekitar 150 unit koperasi syariah dengan total anggota 10.000 orang—angka yang sangat kecil jika dibandingkan dengan potensi ekonomi daerah.
Di beberapa daerah, koperasi syariah terbukti mampu menjadi motor penggerak ekonomi. Misalnya, di Yogyakarta, koperasi syariah berbasis pesantren telah sukses membantu ribuan santri dan masyarakat sekitar dalam membangun usaha.
Gubernur baru seharusnya menjadikan koperasi syariah sebagai salah satu pilar utama kebijakan ekonomi daerah, dengan memberikan insentif serta kemudahan regulasi bagi koperasi syariah agar bisa berkembang pesat.
Infrastruktur dan Regulasi: Batu Sandungan yang Harus Disingkirkan
Tentu, ekonomi Islam bukan solusi instan yang bisa menyulap masalah ekonomi dalam semalam. Ada tantangan besar yang harus dihadapi, salah satunya adalah infrastruktur yang belum merata.
Banyak daerah di Lampung, terutama di pelosok, masih mengalami kesulitan dalam distribusi hasil pertanian dan produk UMKM. Jalan yang rusak, pasar yang minim fasilitas, serta akses internet yang terbatas menjadi hambatan serius bagi pertumbuhan ekonomi berbasis syariah.
Selain itu, regulasi yang rumit juga kerap menjadi momok bagi pelaku usaha. Proses perizinan usaha sering kali berbelit dan memakan waktu lama, membuat banyak UMKM akhirnya memilih jalur informal. Jika ingin menerapkan kebijakan ekonomi Islam secara efektif, gubernur baru harus berani melakukan reformasi birokrasi agar perizinan usaha lebih mudah dan cepat.
Refleksi: Akankah Lampung Menjadi Model Ekonomi Islam?
Ekonomi Islam bukan sekadar wacana. Ia bisa menjadi solusi nyata bagi pembangunan daerah, asalkan diterapkan dengan strategi yang jelas dan terukur.
Lampung memiliki semua modal untuk menjadi model penerapan ekonomi Islam di Indonesia. Ada kekayaan alam yang melimpah, sektor pertanian yang kuat, serta potensi zakat dan keuangan syariah yang besar. Yang dibutuhkan sekarang adalah komitmen nyata dari pemerintah daerah untuk menjadikan ekonomi Islam sebagai landasan utama pembangunan.
Tentu, semua ini tidak bisa dilakukan oleh gubernur seorang diri. Dibutuhkan kolaborasi antara pemerintah, ulama, akademisi, pelaku usaha, dan masyarakat untuk memastikan bahwa ekonomi Islam bukan hanya menjadi slogan, tetapi benar-benar menjadi jalan keluar bagi persoalan ekonomi Lampung.
Gubernur baru sudah dilantik. Harapan sudah menggantung tinggi. Kini, pertanyaannya: akankah ekonomi Islam menjadi bagian dari solusi, atau hanya akan menjadi catatan kaki dalam buku kebijakan daerah?
Kita semua menunggu jawabannya.
Terimakasih