Oleh : Hengki Irawan
Akademisi/Praktisi Media
DI TENGAH arus digital yang tak terbendung, media cetak dihadapkan pada realitas keras: tetap bertahan atau tergilas zaman.
Media cetak di Indonesia menghadapi tantangan besar yang tak lagi bisa dihindari. Era di mana halaman kertas menjadi sumber utama informasi kini telah digantikan oleh layar ponsel yang terus menyala.
Kecepatan dan kemudahan akses yang ditawarkan media digital memang memikat. Pembaca kini tidak perlu lagi menunggu esok pagi untuk membaca berita, karena informasi selalu ada dalam hitungan detik.
Bagi media cetak, inilah tantangan terbesar: bagaimana bertahan di tengah perubahan kebiasaan yang masif ini.
Masalah utama bukan hanya soal berkurangnya pembaca. Iklan—jantung bisnis media—pun ikut meninggalkan dunia cetak. Pengiklan kini beralih ke platform digital yang dianggap lebih murah dan efisien, karena mampu menargetkan audiens secara spesifik.
Di era big data, pengiklan bisa memetakan siapa yang mereka sasar dengan akurasi tinggi, sesuatu yang tak mampu disediakan oleh media cetak. Jika media cetak tak mampu menawarkan nilai lebih, maka sulit untuk bertahan di tengah digitalisasi yang semakin mendominasi.
Belum lagi soal biaya. Produksi cetak memerlukan biaya besar—mulai dari pencetakan hingga distribusi—dan ini menjadi beban tambahan yang kian terasa berat di tengah persaingan dengan media digital yang relatif lebih ekonomis.
Ketika cetak harus bertarung melawan efisiensi digital, banyak pihak yang mempertanyakan apakah upaya ini layak diteruskan.
Namun, apakah ini akhir bagi media cetak? Saya percaya, media cetak masih punya harapan jika bersedia beradaptasi. Salah satu langkah yang bisa dilakukan adalah bertransformasi menjadi multiplatform.
Banyak media besar di dunia yang berhasil melakukan ini: mereka tetap mencetak edisi fisik, tapi juga menghadirkan versi digital yang bisa diakses kapan saja dan di mana saja.
Strategi lain yang patut dicoba adalah diversifikasi konten. Media cetak bisa menyediakan konten premium atau edisi khusus yang menarik bagi pembaca setia.
Di saat yang sama, kerja sama dengan platform online menjadi keharusan. Media cetak bisa berbagi konten, berkolaborasi, dan saling melengkapi dengan media digital demi menjangkau audiens yang lebih luas.
Pendekatan berbasis komunitas juga bisa menjadi nilai tambah, di mana media cetak memperkuat ikatan dengan pembaca setianya.
Pengalaman dari beberapa perusahaan media besar menunjukkan bahwa strategi ini berhasil menjaga relevansi mereka di era digital.
Namun, upaya ini membutuhkan keseriusan dan keberanian untuk meninggalkan cara-cara lama. Transformasi digital, diversifikasi, serta kolaborasi dengan platform digital bukan lagi sekadar pilihan, melainkan kebutuhan.
Jika tidak, media cetak hanya akan menjadi saksi bisu dari perubahannya sendiri. Ini adalah ujian bagi keberanian industri media untuk menerima dan beradaptasi dengan zaman yang telah berubah. Jika ingin tetap berdiri, cetak harus siap merangkul dunia digital dengan tangan terbuka.
Trimakasih