Di Balam Angka Kekerasan dan Pelecehan Masih Tinggi
PEMBARUAN.ID – Di balik gelar Kota Layak Anak (KLA) yang disandang Bandarlampung, kenyataan pahit terus menghantui. Sepanjang 2024, hingga September, sudah ada 123 kasus kekerasan dan pelecehan seksual terhadap perempuan dan anak yang mencuat.
Bandarlampung, yang semestinya menjadi pelindung bagi warganya, justru tersandung dalam bayang-bayang kekerasan yang kian merajalela. Lagi-lagi judi online menjadi salah satu penyebab.
Kepala Unit Pelaksana Teknis (UPT) Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Bandarlampung, A Prisnal, membuka mata publik dengan data yang memilukan.
Dari 123 kasus, sebanyak 95 di antaranya menimpa anak-anak, sedangkan 28 kasus lainnya menyasar perempuan. Jumlah yang lebih dari sekadar statistik, karena di balik setiap angka, ada trauma, air mata, dan ketidakadilan.
Anak-anak, yang semestinya tumbuh dalam lingkungan yang aman, justru menjadi korban utama kekerasan dan pelecehan seksual.
Bagaimana mungkin, kota yang berlabel layak untuk anak, malah membiarkan situasi ini terus berlangsung? Sedangkan perempuan, meski bukan lagi angka mayoritas, masih terus menderita akibat kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang tampaknya sulit diatasi.
“Sebagian kasus ini juga terkait bullying dan sodomi,” ujar Prisnal, menambahkan perihnya realitas yang dihadapi.
Di ruang kerjanya, ia tak hanya memaparkan angka, namun juga mencoba menggambarkan betapa beratnya beban yang dipikul lembaganya.
Menggali lebih dalam, akar masalah kekerasan terhadap perempuan nyaris selalu bermuara pada ketidakstabilan ekonomi.
“Kebanyakan cekcok rumah tangga dipicu oleh tuntutan nafkah dari istri, dan ketika ekonomi tak stabil, yang kerap disalahkan adalah judi online. Ini memicu tindak kekerasan,” ungkapnya.
Namun, apa gunanya jika solusi yang ditawarkan selalu berkisar pada dampak tanpa menyentuh akar masalah? Berapa lama lagi perempuan dan anak-anak harus menjadi korban sebelum ada tindakan nyata?
Ironisnya, dari 123 kasus tersebut, hanya sebagian yang ditangani oleh UPT PPA, sementara sebagian besar lainnya menguap begitu saja—laporan yang tak berlanjut, atau hanya sampai ke tangan kepolisian dan lembaga lain seperti Damar.
“Kami hanya bisa menangani kasus yang datang melapor langsung ke UPT,” ungkap Prisnal.
Sebuah pengakuan yang menunjukkan batas kemampuan lembaga ini dalam menangani masalah yang begitu kompleks.
Yang paling mencengangkan, mayoritas pelaku kekerasan seksual terhadap anak-anak ternyata adalah orang terdekat.
Lingkungan rumah yang seharusnya menjadi tempat paling aman justru berubah menjadi arena predator. Paman, tetangga, bahkan teman, bisa berubah menjadi ancaman yang menghancurkan masa depan mereka.
Seperti biasanya, solusi yang disodorkan adalah pendidikan dan kesadaran. Orang tua diharapkan memperhatikan lingkungan, guru diharapkan ikut mendidik siswa terkait bahaya kekerasan seksual.
Namun, apakah hanya itu cukup? Tanpa perubahan sistemik dan langkah konkret, peringatan ini hanya akan menjadi gema yang memudar di tengah hingar-bingar kasus kekerasan yang terus berulang.
Dengan semua ini, pertanyaan yang harus kita jawab adalah: sampai kapan Bandarlampung akan terus menjadi saksi dari penderitaan tak berujung perempuan dan anak-anaknya? (agis)