ERA digital telah membawa perubahan besar dalam dinamika politik di Indonesia terlebih di Lampung.
Pemilihan kepala daerah (pilkada) yang sebelumnya diwarnai oleh kontestasi ketat antar calon-calon kuat untuk beradu pengaruh. Kini fenomena “kotak kosong” seolah menjadi tren baru. Bau-baunya di Pilkada Lampung ada beberapa daerah yang hanya ada satu paslon termasuk pilgub.
Tentu kita semua berharap, fenomena hanya sekadar kekosongan calon, tidak menular atau mencerminkan kekosongan ide dan visi di tengah maraknya viral(isme) dalam politik.
Dalam beberapa kompetisi politik di nusantara, kita menyaksikan beberapa daerah yang hanya diisi oleh satu pasangan calon, sementara kotak kosong menjadi “penantang” simbolis.
Situasi ini sering kali terjadi akibat calon tunggal yang diusung oleh koalisi besar partai politik, sehingga menghilangkan ruang bagi calon independen atau calon dari partai kecil untuk bersaing.
Ini menimbulkan pertanyaan mendasar tentang kualitas demokrasi yang kita jalani.
Era viral(isme) menambah kompleksitas dalam fenomena ini. Dengan media sosial yang mendominasi arus informasi, kampanye politik lebih banyak diwarnai oleh isu-isu viral dan sensasional.
Pesan-pesan politik yang disampaikan sering kali lebih mengutamakan daya tarik emosional daripada substansi program dan visi.
Hal ini menciptakan ruang kosong yang ironis dalam diskursus politik kita, di mana banyak yang terjebak dalam euforia viral tanpa memperhatikan esensi dari demokrasi itu sendiri.
Pilkada melawan kotak kosong seharusnya menjadi momentum refleksi bagi kita semua. Apakah kita sudah benar-benar memahami esensi dari demokrasi? Apakah kita sudah menjalankan pilkada dengan penuh tanggung jawab dan partisipasi aktif?
Viral(isme) seharusnya tidak menjadi pengganti substansi politik. Justru, era digital harus dimanfaatkan untuk memperkaya diskursus politik dengan informasi yang mendalam dan berimbang.
Penting bagi kita untuk mendorong partisipasi politik yang lebih luas dan inklusif. Partai politik harus membuka diri terhadap calon-calon potensial dari berbagai latar belakang, bukan hanya dari lingkaran elit.
Selain itu, masyarakat harus kritis dalam menerima informasi dan lebih aktif dalam proses politik. Dengan demikian, kotak kosong tidak lagi menjadi simbol kekosongan ide dan visi, tetapi menjadi alarm bagi kita untuk terus memperbaiki kualitas demokrasi di Indonesia.
Di era viral(isme), tantangan terbesar adalah menjaga integritas dan kualitas demokrasi. Mari kita jadikan pilkada sebagai arena kontestasi ide dan visi yang benar-benar mewakili aspirasi rakyat, bukan sekadar ajang popularitas semu.
Relawan Sesungguhnya
Ada kutipan menarik dari senior saya di dunia jurnalistik, Amirudin Sormin yang mempertanyakan kepedulian para calon kuat terhadap peran media yang sejatinya adalah relawan bagi kontestan.
“Wahai para calon kepala daerah, relawan seaungguhnya itu adalah media massa. Tapi mengapa anda begitu pelit beriklan,” tulisnya dalam sebuah postingan di media sosial, 7 Agustus 2024.
Bang Amir seolah ingin menegaskan jika viral saja tidak cukup dan hanya akan mempertegas kekosongan ide dan visi. Media massa adalah jembatan yang menghubungkan para calon dengan masyarakat luas, yang dapat memperkuat pesan-pesan politiknya.
Dalam era di mana informasi dapat tersebar dengan begitu cepat dan luas, beriklan di media massa adalah strategi penting untuk memastikan pesan politik sampai kepada seluruh lapisan masyarakat.
Disamping itu, di era viral(isme), tantangan terbesar adalah menjaga integritas dan kualitas demokrasi. Peran media massa tentu akan semakin jelas dalam menjaga pilkada sebagai arena kontestasi ide dan visi yang benar-benar mewakili aspirasi rakyat, bukan sekadar ajang popularitas semu.
Dengan begitu, demokrasi kita akan semakin matang dan berkualitas, siap menghadapi tantangan zaman.
Yuk Pasang Mata!
Di sisi lain, salah satu keunikan dari kotak kosong adalah ketiadaan saksi formal di lapangan. Namun, di era viral(isme), masyarakat berperan sebagai saksi.
Di mana-mana ada mata yang siap memviralkan setiap kejadian. Dengan kamera ponsel yang selalu siap, masyarakat dapat merekam dan menyebarkan informasi dengan cepat.
Hal ini menciptakan efek saksi yang kuat, di mana ketidakberesan atau manipulasi dalam pilkada dapat terungkap secara luas dan cepat.
Di era viral(isme), tantangan terbesar adalah menjaga integritas dan kualitas demokrasi. Mari kita jadikan pilkada sebagai arena kontestasi ide dan visi yang benar-benar mewakili aspirasi rakyat, bukan sekadar ajang popularitas semu.
Wallahualam