PROGRAM Indonesia Pintar (PIP) sejatinya hadir sebagai angin segar bagi jutaan siswa dari keluarga kurang mampu. Bantuan dana pendidikan ini seharusnya menjadi jembatan bagi mereka yang berjuang meraih ilmu di tengah keterbatasan ekonomi. Namun, seperti banyak bantuan sosial lainnya, ada saja tangan-tangan jahil yang menjadikannya bancakan.
Di atas kertas, mekanisme PIP sudah tertata rapi. Siswa penerima harus terdata dalam Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) atau direkomendasikan melalui jalur sekolah. Dana dicairkan langsung ke rekening mereka, tanpa perantara. Idealnya begitu. Tapi realitas di lapangan sering kali berkata lain.
Di beberapa daerah, ada cerita tentang pungutan liar berkedok “biaya administrasi.” Siswa yang mestinya menerima dana utuh malah diminta “berbagi” oleh oknum yang merasa berkuasa.
Ada juga yang diminta menyetor sebagian dana ke pihak tertentu, dengan alasan agar bantuan bisa terus mengalir. Tak sedikit pula siswa yang baru mengetahui namanya terdaftar sebagai penerima PIP, padahal mereka tak pernah mencairkan dana sepeser pun. Lalu, siapa yang menikmati uang itu?
Lebih miris lagi, ada modus lain yang lebih sistematis. Pihak-pihak yang semestinya mengawasi justru ikut bermain. Data penerima bisa diatur, kuota bisa dimanipulasi.
Di beberapa kasus, nama siswa diusulkan tanpa sepengetahuan mereka, sementara dana dicairkan oleh pihak yang tak bertanggung jawab. Seolah-olah, program yang lahir dari niat baik ini justru dijadikan ladang keuntungan bagi segelintir orang.
Tentu, tidak semua wilayah punya masalah seperti ini. Banyak daerah yang menjalankan PIP dengan transparan dan tepat sasaran. Tapi, kasus-kasus penyimpangan yang terus bermunculan menunjukkan ada celah yang perlu ditutup. Ada sistem yang harus diperbaiki, ada pengawasan yang harus diperketat.
Pada akhirnya, PIP adalah tentang harapan. Harapan bahwa anak-anak dari keluarga kurang mampu bisa terus sekolah tanpa dihantui putus asa karena biaya. Harapan bahwa negara benar-benar hadir untuk mereka yang membutuhkan dan harapan bahwa program ini tidak lagi jadi bancakan, tetapi kembali ke tujuan awalnya: membangun masa depan lewat pendidikan.
Di Lampung, cerita yang terdengar tak jauh berbeda. Alih-alih menerima bantuan secara utuh, siswa harus merelakan sebagian dana mereka terpotong—entah sebagai “ucapan terima kasih” atau karena ancaman terselubung.
“Ikut aturan saja, kalau enggak mau setor, tahun depan bisa tidak dapat lagi,” begitu kira-kira kalimat yang sering terdengar.
Ada yang pasrah, menganggap potongan sebagai bentuk syukur. Ada yang diam, takut tak lagi diusulkan. Ada pula yang berani bersuara, meski risikonya besar.
Sungguh ironi. Program yang seharusnya membantu malah jadi ajang eksploitasi. Uang yang mestinya untuk keperluan sekolah justru tergerus oleh permainan oknum.
Pertanyaannya, sampai kapan? Apakah harus terus ada siswa yang takut kehilangan haknya karena sistem yang tak berpihak? PIP seharusnya menjadi hak, bukan alat tekan. Bantuan ini bukan kemurahan hati, tapi kewajiban negara untuk mencerdaskan bangsa. Jika ada yang berani bermain di atas hak anak-anak, maka sudah saatnya mereka diberi pelajaran.
Saya adalah salah satu wartawan yang melarang keras wartawan (mengganggu) proses pembangunan sekolah. Mengganggu, dalam tanda kutip mencari-cari masalah di lembaga pendidikan.
Tapi setelah melihat fenomena PIP ini, saya melihat kejahatan yang harus di bongkar. Kasus demi kasus yang telah terbongkar sungguh memilukan sekaligus memalukan.
Lihat (@brorondm) berbagai persoalan di sekolah dibongkar. Wajah-wajah rakus para pengelola lembaga pendidikan diperlihatkan. Menampakkan potret buram pengelolaan penyelenggara pendidikan.
Tulisan ini adalah awal dari komitmen penulis untuk ikut memerangi kecurangan di dunia pendidikan.
Trimakasih








