Oleh: Dr. Maruly Hendra Utama
PERTENGAHAN tahun 2003, saat menjabat sebagai Ka. Prodi Administrasi Publik FISIP Untirta saya mengenal Aom Karomani. Dosen FKIP Unila yang sedang studi S3 di Unpad dengan beasiswa BPPS. Tidak ada yang istimewa dari Aom. Perawakan kecil dan pendek dengan penampilan yang selalu berusaha rapi tapi tetap kumuh menggambarkan hari-harinya pada masa itu dibawah tekanan ekonomi. Memori saya menyimpan ingatan kuat tentang Aom karena dia satu-satunya dosen yang saya kenal bisa naik haji dalam kondisi sedang tugas belajar.
Setiap bicara selalu mengaku santri. Dan setelah bicara tentang santri sarungan dia seperti mendapatkan privelege. Mengambil kertas lalu ngeprint disertasinya. Selain
menghabiskan banyak kertas dan tinta printer juga mengganggu aktivitas Fakultas.
Dia bisa berlaku seenaknya karena berteman dengan Iman Mukhroman yang saat itu menjabat Wakil Dekan II. Temannya saat studi S2 dan sama-sama berasal dari Pandeglang.
Karena terganggu, beberapa orang dosen dan staf mulai menunjukan ketidaksukaannya atas kehadiran Aom di Fakultas. Aom bukan berhenti menggunakan fasilitas Fakultas tapi datang saat Fakultas sepi dan kedatangannya pun dengan cara mengendap-endap untuk mengerjakan disertasinya.
Mewakili beberapa orang dosen yang terganggu mengingat Aom adalah dosen FKIP Unila, saya dan beberapa kawan bicara dengan Aris Suhadi, saat itu menjabat sebagai Dekan Fisip Untirta. Atas kemurahan hati Dekan dan belas kasihan kawan-kawan dosen mengingat Aom
sedang studi maka sebagai jalan keluar Aom diberi jam ngajar beberapa mata kuliah. Tujuannya adalah untuk membantu secara ekonomi agar studinya dapat terus berjalan.
Merasa mendapat angin padahal hanya ekspresi belas kasihan dosen Fisip Untirta, Aom secara terbuka bicara kemungkinannya untuk pindah dari FKIP Unila ke FISIP Untirta.
Awalnya banyak dosen berpikir gelar akademiknya sebagai Doktor menjadi bahan pertimbangan untuk penguatan institusi, tetapi saat dia menyampaikan dengan berbisik agar diberi jabatan di Fisip Untirta semua dosen menolak. Sejak itu Aom pergi dan tidak pernah kembali ke Untirta.
Belasan tahun kemudian saya bertemu lagi dengan Aom di Unila. Penampilannya sudah tidak kumuh lagi walau masih jauh untuk dikatakan perlente. Tidak ada yang berubah dari Aom kecuali gayanya yang semakin tengil. Mungkin karena merasa sudah Doktor dan saya masih studi S3. Diakhir pertemuan basa-basi saya menanyakan alamat rumahnya, disebutnya sebuah jalan yang sangat familiar bagi saya. Jalan kecil dan gelap menuju rumahnya berada ditengah perkampungan padat penduduk dekat rel kereta api belakang Mall Bumi Kedaton. Beberapa bulan setelah menjadi Rektor, rumah ini di renovasi ditambah dengan membuat kolam di halaman rumahnya.
Tahun 2015 an Aom meraih gelar Profesor dengan cara yang asoy geboy. Asoy karena dia tidak memiliki kemampuan menulis, geboy karena dia adalah dosen FKIP tapi ketika menjelang pengukuhan guru besar dia sudah menjadi Dosen FISIP.
Beberapa bulan Aom menjadi Profesor dia dilantik menjadi WR III. Jabatan WR III ini juga jabatan yang asoy geboy. Asoy karena Aom tidak pernah sama sekali menjabat ditingkatan Jurusan hingga Fakultas. Geboy karena Aom tidak bisa bekerja selain mengurus sertifikasi guru.
Selama menjabat WR III prestasi Aom ada dua yang fenomenal. Pertama, menghancurkan masa depan 7 orang mahasiswa Unila yang kedapatan menyimpan ganja di kampus. WR III bertanggungjawab sepenuhnya atas semua aktivitas mahasiswa di kampus. Mahasiswa itu memang salah, tapi sebagai dosen apalagi pejabat yang bertanggungjawab tidak seharusnya membiarkan para mahasiswa dihukum 4-5 tahun penjara hanya karena ikut sumbangan membeli ganja.
Kedua, meninggalnya Mahasiswa Fisip Unila saat mengikuti pendidikan Dasar Pencinta Alam diikuti dengan hukuman penjara bagi panitia penyelenggara. Hukuman berkisar 1-3 tahun penjara termasuk panitia perempuan. Pendidikan Dasar Pecinta Alam ini adalah acara tahunan dan legal seijin kampus. Tapi ketika ada masalah WR III buang badan dan semua konsekuensi harus mahasiswa yang menanggungnya. Cara Aom buang badan dengan membekukan organisasi Pecinta Alam lalu membubarkannya.
Sepanjang Aom menjabat WR III Unila, puluhan mahasiswa putus studi bahkan di penjara karena tidak diurus dengan baik. Mungkin Aom lebih memprioritaskan hubungan dengan orang tua mahasiswa untuk mengutip uang masuk Unila daripada mengurus mahasiswa.
Saat menjabat WR III ini juga saya mengetahui bahwa Aom ini termasuk golongan orang yang kikir. Jangankan diminta uang, dosanya sekalipun saat diminta pasti tak diberikannya. Pernah
seorang teman meminta sumbangan untuk membesuk Musa Zainudin di Sukamiskin Sebelum dipenjara Musa ini adalah ketua DPW PKB Lampung yang merekomendasikan Aom untuk menjadi WR III.
Jangankan memberi, Aom malah berkeluh kesah bahwa jabatannya tidak ada uang. Parahnya lagi Aom malah menelpon saya untuk mengingatkan teman tersebut untuk tidak meminta sumbangan padanya.
Efek Domino Suap Unila
Aom memiliki gelar Profesor dan Haji sekaligus menjabat Rektor Unila dan Wakil Ketua NU Lampung. Gelar dan jabatan ini digunakan Aom untuk memperkaya dirinya, membangun rumahnya di belakang Mall Bumi Kedaton, Membangun rumah baru seperti rumah telenovela di Rajabasa, Pembangunan Gedung Lampung Nahdliyin Center, pembelian tanah di Pandeglang dan Bandar Lampung. Itu semua cara Aom mencuci uang hasil rampokan. Belum lagi pembelian emas dengan nilai fantastis. Jika tidak memiliki dendam terhadap kemiskinan, rasanya mustahil Aom berlaku seperti Preman, merampok orangtua mahasiswa.
Memang tidak ada kerugian negara, tetapi sebagai Rektor Aom justru mendidik para mahasiswa menjadi bandit. Saat studi di Unila mereka akan menggunakan segala cara untuk cepat lulus mengingat mereka bisa masuk dengan mudah. Semua dosen diberi hadiah. Dari sekedar traktir makan, jilbab, lukisan, hewan peliharaan hingga uang dalam amplop kecil yang diselipkan saat mengumpulkan tugas. Aom membuat lingkungan kampus menjadi kotor.
Selesai studi dan mulai bekerja, mereka akan berlomba mencari uang dengan cara instan. Persis seperti apa yang telah diajarkan Rektor Unila: Merampok.
Tidak berhenti hanya menjadi perampok saja, bagi mahasiswa kedokteran semua tindakan mereka akan diukur karomani. Karo bahasa bantennya dengan atau sama, sementara mani adalah cara membaca money dalam bahasa Inggris. Dokter-dokter muda yang orang tuamya dirampok akan berusaha secepat mungkin mengembalikan uang yang sudah diberikan pada Aom. Mereka akan meniru cara Aom. Dokter-dokter ini akan merekomendasikan jenis obat yang memiliki profit besar dari perusahaan farmasi. Dalam situasi ini yang menjadi korban adalah masyarakat. Sementara Aom, selepas dari penjara mungkin pulang ke Pandeglang untuk bertani menikmati sisa-sisa hasil suap yang tidak terdeteksi KPK.
Akibat dari perbuatan Aom, disadari atau tidak, struktur masyarakat dari semua lapisan berubah. Dari baik menjadi jahat. Semua harga barang dan jasa yang awalnya murah menjadi mahal ketika berhubungan dengan semua korban Aom. Empati, moralitas apalagi integritas lenyap dari sebagian masyarakat yang dirampok Aom. Begitu dahsyat efek dari perbuatan
Aom. Menghancurkan tatanan masyarakat yang dikenal baik, sopan dan ramah. Tapi bengis dalam cara mencari uang.
Secara psikologis, orang yang ditahan KPK selama menunggu proses persidangan akan melakukan dua hal. Pertama mencari celah bagaimana vonis hakim menjadi ringan.
Kedua, menjalani hukuman di Lapas yang dekat dengan keluarga. Untuk skandal Aom rasanya butuh pengecualian mengingat dampak dari perbuatannya. Ditambah rusaknya citra Unila dan NU
Lampung. Aom harus dihukum seberat-beratnya dan menjalani hukuman di Nusakambangan.
Jika setelah vonis Aom menjalani hukuman di LP Rajabasa maka dapat dipastikan uang Aom yang disembunyikan masih banyak.
*) Penulis, Dr. Maruly Hendra Utama, dosen Pascasarjana Universitas Pasundan,
Dewan pakar SMSI – Serikat Media Siber Indonesia
**) Artikel dengan judul yang sama juga tayang di bergelora.com