PEMBARUAN.ID – Bandarlampung terasa lebih tenang saat Kelompok Studi Kader (Klasika) Lampung menggelar sebuah dialog kebudayaan yang berbeda, Jumat (06/09/2024).
Mereka mengangkat tema “Hidupkan Tradisi Lampaui Modernisasi”—sebuah seruan untuk menjaga agar tradisi tidak sekadar bertahan, namun juga berkembang seiring kemajuan.
Ruang aula DPD KNPI Provinsi Lampung itu menjadi saksi, bagaimana ratusan mahasiswa, pemuda, dan para pelaku kebudayaan berkumpul, tidak hanya untuk berdiskusi, namun juga untuk mencari makna lebih dalam tentang warisan yang hampir terlupakan.
Direktur Klasika Lampung, Ahmad Mufid berbicara dari hati, suaranya bergetar oleh keprihatinan yang dalam. Ia menyuarakan kegelisahan tentang rendahnya keterlibatan generasi muda dalam melestarikan kebudayaan.
“Kita dihadapkan pada bonus demografi,” katanya, menatap tajam para peserta. “Namun, aktivitas produktif dalam pemajuan kebudayaan dan kearifan lokal masih minim.”
Ucapan itu mungkin terdengar klise, tapi realitas di lapangan tidak bisa disangkal. Generasi yang tumbuh dengan layar ponsel di tangan, sering kali lupa bahwa di balik setiap kilatan modernisasi, ada nilai-nilai yang terancam memudar.
Dialog ini, bagi Mufid dan para penggerak kebudayaan lainnya, adalah upaya untuk menarik kembali perhatian mereka yang telah terbuai oleh pesona globalisasi.
Pamong Budaya Ahli Madya Rois Leonard Arios, dari Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah 7 Bengkulu dan Lampung, tidak menutupi kekhawatirannya.
“Modernisasi membawa dampak signifikan terhadap budaya lokal,” ucapnya, dengan nada tegas yang tidak bisa diabaikan.
Pengaruh budaya global, lanjutnya, sering menggeser perhatian dari budaya tradisional yang merupakan identitas bangsa kita.
Apakah generasi muda akan memilih jalan untuk merawat atau melupakan? Pertanyaan itu terngiang-ngiang di setiap kepala yang hadir, terutama ketika Alexander GB, seorang pelaku kebudayaan, mengajak hadirin untuk berpikir kreatif.
Baginya, budaya harus menjadi sesuatu yang dinamis, sebuah ruang yang terus bernafas dengan kolektivitas dan semangat berbagi, tanpa mengukur nilai hanya dalam bentuk materi.
“Kreativitas dalam kebudayaan harus lahir dari paradigma baru,” katanya, mengingatkan bahwa budaya tidak hanya soal nostalgia, tetapi tentang bagaimana ia bisa bertahan di era yang serba cepat ini.
Edy Samudra Kertagama, sastrawan yang selama ini lekat dengan tradisi Lampung, mengakui adanya dua sisi dalam proses modernisasi. Ya, modernisasi membuka akses informasi dan komunikasi yang lebih luas, tapi juga mengancam eksistensi budaya yang dibangun dengan begitu susah payah.
Lalu ada Udo Z. Karzi, yang menyulut semangat kreatif dengan gagasan bahwa tradisi tidak harus sekaku yang kita bayangkan.
Ia mengajak para peserta untuk mengolah kembali legenda dan cerita rakyat menjadi bentuk-bentuk baru—buku, lagu, tarian, bahkan produk komersial seperti kaos.
Sebuah adaptasi, menurutnya, adalah cara lain untuk menjaga agar kebudayaan tidak menjadi barang museum, melainkan hidup dan berkembang di hati generasi sekarang.
Dialog kebudayaan ini seolah menggarisbawahi bahwa menjaga budaya bukan hanya soal memelihara apa yang lama, tetapi juga menghidupkannya kembali dalam cara yang relevan.
Klasika Lampung dan BPK Wilayah 7 berusaha merajut kesadaran bahwa modernisasi dan tradisi tidak harus saling meniadakan.
Pada akhirnya, inilah sebuah upaya kolektif, bukan sekadar diskusi, tapi sebuah panggilan untuk kembali mengakar pada warisan yang selama ini kita anggap remeh. (***)