iklan
ARITORIAL

Bukan Prioritas

×

Bukan Prioritas

Share this article

ADA yang luput dari pidato perdana Wali Kota Bandarlampung, Eva Dwiana, di hadapan para wakil rakyat.

Sebuah ironi di tengah realitas yang berbicara sebaliknya. Di saat hujan deras menjadi tamu yang tak diundang di berbagai sudut kota, isu pencegahan banjir justru absen dari daftar program prioritas pemerintah hingga 2030.

Bandarlampung bukan kota tanpa masalah. Setiap kali musim hujan tiba, warga di beberapa kecamatan tahu betul bagaimana rasanya hidup berdampingan dengan genangan.

Banjir bukan lagi sekadar bencana alam, melainkan potret dari kebijakan yang gagal membaca keresahan warganya.

Dalam pidatonya, Wali Kota berbicara panjang lebar tentang pembangunan ekonomi, peningkatan kualitas sumber daya manusia, hingga pelayanan publik.

Program-program ini tentu penting, bahkan krusial. Tapi pertanyaannya, bagaimana warga bisa menikmati semua itu jika tiap musim hujan rumah mereka dikepung air?

Koordinator Divisi Riset dan Pendidikan LBH Dharma Loka Nusantara, Ahmad Suban Rio, mengingatkan bahwa banjir bukan sekadar soal genangan sesaat.

Ada kerugian ekonomi, ada ancaman kesehatan, dan yang paling parah—ada rasa ketidakadilan yang tumbuh di hati rakyat.

Bagaimana bisa pemerintah mengabaikan masalah yang setiap tahun melumpuhkan aktivitas ribuan orang?

Bukankah tanggung jawab utama seorang pemimpin adalah memastikan warganya hidup dengan rasa aman? Jika banjir dianggap bukan prioritas, lalu kepada siapa masyarakat harus berharap?

Ini bukan soal hujan yang turun di luar kendali kita. Ini soal kebijakan yang mestinya mampu memitigasi dampaknya. Banjir bisa dicegah—asal ada komitmen nyata, bukan sekadar janji di atas podium.

Infrastruktur pengendali banjir yang memadai, sistem drainase yang diperbaiki, hingga penataan ruang kota yang berorientasi pada keberlanjutan lingkungan, semua itu mestinya menjadi prioritas.

Warga Bandarlampung tidak butuh pidato yang indah di atas kertas. Mereka butuh solusi konkret di lapangan. Karena bagi mereka yang rumahnya terendam, banjir bukan lagi bencana alam semata—tetapi potret kegagalan pemerintah memahami apa yang benar-benar penting.

Dan di sinilah ujian sesungguhnya bagi seorang pemimpin. Apakah ia akan menjadi pemimpin yang mendengar suara rakyatnya, atau sekadar pembicara yang pandai merangkai kata, tapi lupa pada fakta?

Karena pada akhirnya, air akan surut. Tapi luka akibat kebijakan yang mengabaikan realitas, bisa membekas jauh lebih lama.

Wassalam


Berlangganan berita gratis di Google News klik disini
Ikuti juga saluran kami di Whatsapp klik disini

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

ARITORIAL

ANJIR! Begitu anak muda hari ini mengungkapkan kekagumannya,…