Oleh : Ahmad Riyadi
Jurnalis Pembaruan.ID
Kegelapan di Muara Senja
KECAMATAN Labuhan Maringgai, Kabupaten Lampung Timur, kehidupan seolah bergerak mengikuti irama pasang surut dan pergerakan matahari. Daerah pesisir yang kaya ini, dengan garis pantai yang memeluk Laut Jawa, telah menjadi rumah sekaligus ladang rezeki bagi generasi nelayan. Mereka adalah pewaris samudra, yang mengandalkan keahlian membaca bintang dan mengarungi gelombang demi menghidupi keluarga di daratan.
Namun, setiap senja tiba, pesisir ini—khususnya muara sungai di Desa Karya Tani tempat perahu-perahu ditambatkan—selalu tertelan oleh kegelapan yang pekat. Kegelapan ini bukan hanya sekadar absennya cahaya, melainkan sebuah tirai yang menyembunyikan ancaman dan membatasi potensi.
Sebelum 16 Juli 2025 itu, malam-malam di Muara Karya Tani adalah sesi perjuangan yang sunyi. Kapal-kapal kecil, bermesin tunggal yang setia, tiba setelah berjam-jam di tengah laut. Muatan berharga mereka, tangkapan ikan segar, harus segera dibongkar untuk dilelang atau diproses, mengejar waktu agar kesegarannya terjaga.
“Dulu, kalau sudah pukul tujuh malam, muara ini gelap sekali. Mau bongkar muat harus pakai senter seadanya atau lampu minyak,” kenang Pak Rahmat (62 tahun), seorang nelayan senior dengan kulit yang telah menghitam oleh garam dan matahari. “Ikan itu licin. Kaki juga sering terantuk tali kapal di kegelapan. Bahayanya bukan hanya ikan jatuh ke lumpur, tapi keselamatan kami sendiri.”
Pak Rahmat menggambarkan, proses menambatkan perahu di tengah kegelapan adalah sebuah ritual ketegangan. Salah prediksi sedikit saja, perahu bisa saling bertabrakan, atau malah kandas. Apalagi, kegiatan tambat dan hilir mudik di malam hari sering kali menjadi sasaran empuk bagi tindak pencurian alat tangkap atau hasil tangkapan. Keamanan bukan lagi kemewahan, melainkan kebutuhan mendasar yang belum terpenuhi.
Muara sungai Labuhan Maringgai adalah arteri kehidupan, titik vital pertemuan antara laut yang memberi dan darat yang menerima. Namun, ketiadaan penerangan yang memadai secara efektif memangkas jam operasional, menahan laju ekonomi, dan yang paling krusial, mempertaruhkan nyawa para penambang rezeki. Inilah potret nyata kendala kurangnya akses listrik optimal di daerah terpencil: sebuah tirani kegelapan yang menuntut solusi yang sama sekali berbeda.
Kedatangan Matahari di Tengah Malam
Kisah perubahan dimulai dengan pengamatan sederhana terhadap geografi Desa Karya Tani. Berada di bentang pesisir pantai, desa ini bermandikan sinar matahari sepanjang tahun. Kekayaan energi surya ini, yang selama ini hanya mengeringkan ikan dan menjemur jaring, ternyata menyimpan potensi untuk sebuah revolusi hening.
Melihat peluang ini, dan memahami betul tantangan operasional serta kebutuhan mendesak masyarakat nelayan, PT Pertamina Hulu Energi Offshore Southeast Sumatra (PHE OSES), sebagai bagian dari Regional Jawa Subholding Upstream Pertamina, mengulurkan tangan. Mereka membawa solusi yang bukan sekadar memberi, tetapi memberdayakan: energi tenaga surya terbarukan.
Pada Selasa, 16 Juli 2025 yang bersejarah bagi Desa Karya Tani, lima unit lampu panel surya dipasang kokoh di sepanjang muara. Tiang-tiang baja itu menjadi simbol harapan. Setiap unit lampu memiliki kapasitas 60 Watt per titik, angka yang sederhana namun dampaknya luar biasa.
Pemasangan ini bukanlah yang pertama. Sebelumnya, pada tahun 2023, PHE OSES telah melakukan pemasangan serupa di dua desa tetangga, yakni Desa Muara Gading Mas dan Desa Margasari. Dengan tambahan lima unit di Karya Tani, total pemasangan lampu panel surya di Kecamatan Labuhan Maringgai kini mencapai 18 buah.
Angka 18 ini mewakili 18 titik api kecil—yang sebenarnya adalah cahaya bertenaga surya—yang kini menembus kegelapan malam Labuhan Maringgai. Lampu-lampu ini bekerja tanpa suara, tanpa polusi, mengisi baterai di siang hari untuk membebaskan nelayan dari kegelapan di malam hari.
Filosofi di Balik Program ICBS
Pemasangan lampu panel surya ini adalah manifestasi dari sebuah komitmen yang lebih besar yang dijalankan oleh PHE OSES: Program Integrated Community-Based Security (ICBS).
Kusmono, Manager Health, Safety, Security and Environment (HSSE) PHE OSES, menjelaskan bahwa kontribusi ini adalah upaya strategis yang melibatkan masyarakat secara langsung di sekitar wilayah kerja mereka. Program ICBS tidak hanya berfokus pada pengamanan objek vital nasional perusahaan—kilang, pipa, dan fasilitas migas—tetapi juga mengintegrasikan keamanan sosial dan lingkungan bagi masyarakat sekitar.
“Dukungan dari masyarakat di sekitar wilayah kerja PHE OSES sangat berarti untuk kelancaran operasional kami dalam memproduksikan minyak dan gas bumi sebagai penggerak kehidupan,” ujar Kusmono.
Pernyataan ini mengandung filosofi yang mendalam: keamanan operasi migas akan kokoh jika didukung oleh masyarakat yang sejahtera dan merasa memiliki. Dengan memberikan penerangan yang mengatasi masalah mendasar nelayan—yakni keselamatan saat bongkar muat dan ancaman kriminalitas—PHE OSES secara organik membangun hubungan kepercayaan. Program ini bukan hanya tentang lampu, tetapi tentang membina hubungan yang selaras, terpadu, dan berkelanjutan.
ICBS memastikan bahwa bantuan yang diberikan sesuai dengan kebutuhan riil masyarakat. Di Labuhan Maringgai, kebutuhan itu adalah penerangan yang efisien, ramah lingkungan, dan dapat diandalkan. Program ini adalah contoh nyata bagaimana aspek Security (Keamanan) sebuah perusahaan dapat diterjemahkan menjadi Community Development (Pengembangan Masyarakat).
Selain pemberian infrastruktur, program ICBS juga mencakup koordinasi dan komunikasi berkelanjutan. Fungsi Security secara rutin mengadakan sosialisasi kepada masyarakat, termasuk edukasi mengenai pentingnya menjaga keamanan objek vital nasional.
Nelayan yang merasa terbantu dan dihormati akan secara alami menjadi mata dan telinga perusahaan, menciptakan lingkungan operasi yang kondusif. Dampak Berlapis: Ekonomi, Keamanan, dan Lingkungan
Dampak dari 18 titik lampu panel surya di Labuhan Maringgai ini bersifat domino, menyentuh tiga pilar utama kehidupan masyarakat:
Keamanan dan Keselamatan (Security)
Bagi Kepala Desa Karya Tani, H. Nuryadi, keamanan adalah dampak yang paling langsung dirasakan. “Bantuan penerangan lampu panel surya ini sangat membantu nelayan kami untuk… meningkatkan keamanan di muara tempat kapal berlabuh,” katanya.
Kegelapan sering menjadi kawan bagi tindak kejahatan. Dengan adanya penerangan 60 Watt yang konstan dan terang, ruang bagi pelaku kejahatan semakin sempit. Nelayan yang pulang larut malam kini merasa lebih aman, dan aset-aset mereka—kapal, mesin, dan hasil tangkapan—terlindungi dari risiko pencurian. Keselamatan fisik para nelayan saat bekerja di malam hari juga meningkat drastis, mengurangi risiko kecelakaan kerja akibat kurangnya visibilitas.
Efisiensi Ekonomi (Economy)
Cahaya adalah waktu. Dengan adanya penerangan, aktivitas bongkar muat tidak lagi dibatasi oleh matahari terbit. Nelayan kini dapat berlabuh, membongkar hasil tangkapan, dan memprosesnya kapan pun mereka tiba, bahkan pada pukul dua atau tiga dini hari.
“Dulu, kalau malam gelap, kami sering menunda bongkar. Sekarang, ikan langsung diangkat, dan cepat sampai ke pengepul. Ikan yang lebih segar harganya lebih baik,” jelas Pak Rahmat, matanya berbinar di bawah cahaya panel surya.
Peningkatan efisiensi waktu bongkar muat berarti hasil tangkapan tetap segar, meningkatkan kualitas jual, dan secara otomatis mendongkrak pendapatan harian nelayan. Muara sungai kini berfungsi 24 jam, tidak lagi terhenti di petang hari, mengalirkan darah segar ke perekonomian lokal.
Keberlanjutan Lingkungan (Sustainability)
Inilah poin yang paling progresif dari program ini. Dalam konteks global, PHE OSES menunjukkan komitmen kuat terhadap masa depan energi. Keberadaan lampu panel surya yang ramah lingkungan secara langsung membantu mengurangi ketergantungan masyarakat pesisir pada energi fosil.
Lampu ini memanfaatkan kekayaan alam setempat—sinar matahari melimpah—sebagai sumber energi utama, mengubah ancaman pemanasan global menjadi solusi penerangan lokal.
Kusmono menegaskan bahwa program ini adalah langkah awal dalam mencapai Sustainable Development Goals (SDG’s) poin 7, yaitu Energi Bersih dan Terjangkau (Affordable and Clean Energy). Dalam konteks perusahaan migas, penggunaan energi terbarukan untuk mendukung masyarakat menunjukkan transisi dan tanggung jawab korporat untuk masa depan yang lebih hijau, memastikan bahwa operasi yang memproduksi energi fosil juga turut mempromosikan solusi energi bersih di wilayah kerjanya.
Harapan di Bawah Cahaya Abadi
Di Muara Karya Tani, Lampung Timur, kisah 18 lampu 60 Watt ini adalah kisah tentang transformasi. Ia adalah bukti bahwa investasi sosial yang strategis dapat menjadi katalisator bagi perubahan fundamental.
Sore menjelang malam, ketika senja menyentuh cakrawala dan perahu-perahu nelayan mulai tampak titik-titik kecil di kejauhan, lampu-lampu panel surya itu menyala secara otomatis. Cahayanya yang stabil, bersih, dan tanpa biaya operasional tambahan, kini menjadi pemandangan yang menenangkan bagi setiap keluarga nelayan.
Mereka tahu, di bawah cahaya bertenaga matahari itu, ayah atau suami mereka akan pulang dengan lebih aman, hasil tangkapan mereka akan terjaga nilainya, dan desa mereka dilindungi. Kegelapan telah digantikan oleh terang; risiko telah dikalahkan oleh keamanan.
Program ICBS PHE OSES di Labuhan Maringgai ini adalah lebih dari sekadar bantuan penerangan. Ini adalah investasi jangka panjang pada modal sosial, ekonomi, dan lingkungan. Ini adalah kesaksian bahwa melalui kolaborasi yang cerdas dan berkelanjutan antara industri dan masyarakat, tujuan global dapat diwujudkan melalui aksi lokal, sedikit demi sedikit, satu persatu di bawah 60 Watt Keselamatan. (ari)



 Berlangganan berita gratis di Google News
Berlangganan berita gratis di Google News  Ikuti juga saluran kami di Whatsapp
Ikuti juga saluran kami di Whatsapp 










