ANJIR! Begitu anak muda hari ini mengungkapkan kekagumannya, kejutannya, bahkan cintanya. Coba saja perhatikan percakapan mereka di warung kopi, di kolom komentar, atau di grup WhatsApp yang bahkan masih ada nama ustaz-nya.
“Anjir, keren banget lo!” kata si bocah kepada kawannya yang baru ganti motor. Ucapan yang mungkin dulunya cukup disambut dengan “Wah, mantap,” kini mesti ada sedikit gonggongan agar terdengar gaul.
Saya tidak tahu kapan manusia berhenti merasa geli mendengar kebiadaban lidahnya sendiri. Dahulu, kata anjing hanya keluar di arena perkelahian atau di pojokan pasar saat tukang becak kehilangan rejeki gara-gara copet.
Sekarang, kata itu menjelma menjadi tanda persahabatan, bahkan bentuk apresiasi. “Anjir lo, pinter banget!” katanya sambil tertawa, padahal maknanya tidak jauh beda dengan memaki.
Kita hidup di zaman yang aneh. Ketika kata kotor dipoles sedikit, ia berubah menjadi mode. Disingkat, disamarkan, diberi huruf vokal yang malu-malu — lalu jadilah ia “anjir”, “anjay”, “anjrot”. Bahasa yang semula kental aroma got, kini disemprot parfum digital. Anak muda merasa keren, orang tua terdiam, dan guru bahasa Indonesia mungkin memilih pensiun dini.
Saya tidak sedang menuntut semua anak muda berbicara seperti pujangga. Tidak juga ingin mereka kembali membaca puisi Chairil sambil menatap bulan. Tapi, bukankah di balik setiap kata ada nilai yang dikandungnya? Bila kata-kata kotor mulai kita anggap biasa, maka sebentar lagi perilaku kotornya pun dianggap lumrah. Kita menormalisasi ketidaklaziman sambil berkata: “Ah, cuma bercanda.”
Lucunya, ketika para orang tua menegur, anak-anak ini akan membalas dengan teori kebebasan berekspresi. “Bapak kuno banget, ini kan cuma slang,” kata mereka. Ah, dulu juga kami punya bahasa gaul. Tapi bahasa kami masih tahu malu. Kami masih tahu kapan harus menahan lidah di depan yang dituakan, kapan bercanda tanpa menjatuhkan harkat.
Kini semua batas seakan menguap bersama asap vape dan wangi kopi susu. Yang sopan dibilang kaku, yang santun dianggap tidak asik. Anak muda berteriak “anjir!” di depan guru, dosen, bahkan orang tuanya sendiri, dan tak satu pun merasa bersalah.
Lalu para orang tua diam. Bukan karena setuju, tapi karena lelah. Di era algoritma, menasihati anak sama susahnya dengan memperbaiki moral lewat emoji. Tapi kalau kita terus diam, bukan tak mungkin kelak “anjir” akan masuk KBBI dengan arti: ungkapan kekaguman yang sopan di era digital. Dan pada hari itu, mungkin saya akan berbisik pada nisan sendiri:
“Anjir, dunia memang sudah kebolak-balik.”
Tabik








