PEMBARUAN.ID – Siang itu, Selasa (13/05/2025) Jalan Kartini No 21 tak lagi sekadar deretan beton dan lalu lintas kota. Tembok panjang di sisi jalan menjelma menjadi kanvas raksasa penuh warna dan makna.
Sekelompok anak muda—dari mahasiswa, komunitas mural, hingga street punk—berdiri berjajar di depan karya mereka, tersenyum di bawah langit Bandarlampung yang cerah. Ada semangat yang terasa hidup: semangat untuk bersuara, bukan dengan teriakan, tetapi dengan gambar dan warna.
Inilah wajah baru kota. Sebuah kolaborasi lintas komunitas yang digagas oleh Nusantara Art Project bersama Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Komisariat Universitas Lampung. Bertajuk “Lampung Damai dan Indah”, kegiatan mural yang digelar pada Selasa, 13 Mei 2025 ini bukan sekadar aksi seni di ruang publik. Ia adalah pernyataan—tentang toleransi, pemberdayaan, dan harapan baru bagi wajah kota.
“Banyak orang salah menilai komunitas street punk. Padahal mereka punya potensi besar dalam seni jalanan,” ungkap Andri Sugiarto, Koordinator Tim Mural Nusantara Art Project, sembari menunjuk ke salah satu mural yang menggambarkan tokoh punk memegang kuas.
“Mural ini bukan cuma soal keindahan visual. Ini soal membangun narasi baru. Mengubah stigma lewat karya.”
Mural kali ini adalah volume kedua setelah aksi perdana di kawasan Tugu Adipura. Kala itu, tim mereka membersihkan tembok-tembok kota yang kusam, menggantinya dengan lukisan yang berbicara tentang nasionalisme dan keberagaman. Respon masyarakat? Positif. Bahkan beberapa warga ikut menyumbang makanan dan minuman untuk para pelukis tembok itu.
Berbeda dari proyek seni kebanyakan, kegiatan ini sepenuhnya dibiayai secara swadaya. “Kami patungan. Dari relawan pecinta mural dan teman-teman punk. Tak sepeser pun dari pemerintah,” ujar Angga Saputra, Ketua PMII Komisariat Universitas Lampung. Dalam senyumnya, ada keyakinan bahwa seni bisa jadi medium solidaritas.
Di balik mural-mural itu, ada pesan yang jelas terbaca: Toleransi: Yes. Radikal: No. Di antara karakter-karakter yang digambar penuh warna, pengunjung bisa melihat tokoh adat, pelajar, hingga punk yang menggenggam damai. Tak ada sekat antara mereka, sebagaimana para pembuat mural itu sendiri—berdiri berdampingan tanpa label, kecuali satu: seniman jalanan.
Angga berharap masyarakat ikut menjaga karya ini. “Mural ini bukan cuma gambar di tembok. Ini cermin wajah kita. Kalau kita rusak, berarti kita merusak cermin itu.”
Hari itu, jalanan tak hanya dipenuhi warna, tetapi juga cerita. Tentang keberanian melawan stigma. Tentang harapan yang lahir dari cat semprot dan kuas bekas. Tentang anak-anak muda yang percaya bahwa kota ini bisa lebih damai dan lebih indah—selama kita mau mewarnainya bersama.
(rls-red | Foto: Dokumentasi Komunitas)