Oleh: Khaidir Bujung
Kader NU Lampung
ADA nama-nama yang tak selalu berada di depan, namun jejaknya justru terasa paling dalam. KH Imam Aziz adalah salah satu di antaranya.
Hari Sabtu, 12 Juli 2025, pukul 00.46 WIB, kabar duka itu datang. Melalui pesan singkat dari sahabat-sahabat lama: “Iya, betul beliau wafat.” Begitu konfirmasi dari Irham Ali Saifuddin, Presiden Konfederasi Sarbumusi. Disampaikan juga oleh Ngatawi Al-Zastrouw, Ketua Lesbumi PBNU periode 2010–2015.
KH Imam Aziz menghembuskan napas terakhirnya di Rumah Sakit Sardjito Yogyakarta. Ia pergi di usia 63 tahun. Namun, bagi kami yang mengenalnya, usia itu terasa tak sebanding dengan dalam dan panjangnya jejak perjuangan beliau.
Saya sendiri pertama kali mengenal nama Mas Kyai Imam Aziz saat pertama menginjakkan kaki di kampus putih, IAIN Sunan Kalijaga, tahun 1994.
Waktu itu, beliau sudah dikenal sebagai sosok yang menggagas dan mendirikan Lembaga Kajian Islam dan Sosial (LKiS) Yogyakarta. Ramah, sabar, selalu punya waktu mendidik para yunior pergerakan.
Awalnya, saya hanya mendengar dan mengenal dari jauh. Tapi Allah mempertemukan kami lebih dekat saat beliau didapuk menjadi Ketua Pelaksana Muktamar NU di Lampung.
Masih lekat di ingatan, beliau berkata, “Tugas kita mensukseskan Muktamar. Soal siapa yang bakal menjadi Ketua Umum PBNU, itu urusan para muktamirin!”
Dari situlah saya semakin paham: Imam Aziz bukan tipe yang mengejar posisi di depan, melainkan sosok yang lebih memilih mengatur arah dari belakang layar. Arsitek organisasi. Pengatur strategi.
Bahkan, karena keyakinan dan hormat itulah, saya memutuskan untuk menitipkan anak bungsu saya, Ghamal Nasser Ahmad, belajar selama tiga tahun di Bumi Cendekia School and Pesantren, yang beliau asuh. Bukan hanya untuk mencari ilmu, tapi juga untuk tabarukan dan meneladani sosoknya.
Lahir di Pati, 29 Maret 1962, jejak pergerakan KH Imam Aziz sudah terbaca sejak muda. Ia aktif di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Lembaga Pers Mahasiswa Arena, dan kemudian melahirkan LKiS Yogyakarta, tempat belajar bagi banyak aktivis muda NU.
Perannya paling terlihat justru di saat-saat genting. Ia adalah otak di balik gerakan “Masyarakat Santri untuk Advokasi Rakyat (Syarikat)” dan “Mubes Warga NU” di Cirebon tahun 2004 — forum penting yang mengawal Khittah NU.
Dua muktamar besar juga pernah ia tangani langsung: Muktamar ke-33 di Jombang (2015) dan Muktamar ke-34 di Lampung (2021). Di tengah hiruk-pikuk politik, beliau tetap tenang dan fokus pada prinsip. Bagi beliau, organisasi adalah amanah, bukan panggung.
Tak banyak yang tahu, di lingkungan PBNU, beliau juga adalah motor penerbitan Ensiklopedia NU. Sebuah proyek sunyi tapi penting, demi memastikan warisan pengetahuan NU tetap lestari.
Kini, Mas Kyai Imam Aziz benar-benar telah pergi. Tapi bukan hilang. Jejaknya tetap tinggal, mengalir dalam pikiran dan langkah para santri, aktivis, dan nahdliyin yang pernah disentuh pikirannya.
Tidak semua orang ditakdirkan menjadi sorotan. Tapi ada yang memang diciptakan untuk mengatur cahaya dari belakang, tanpa harus ikut silau.
Selamat jalan, Mas Kyai Imam Aziz.
Terima kasih atas jejak-jejak yang tak lekang oleh waktu.
Al-Fatihah.














