Scroll untuk baca artikel
iklan
SUDUT PANDANG

Ramadhan dan Sejarah Panjang Islam di Lampung

×

Ramadhan dan Sejarah Panjang Islam di Lampung

Share this article

Oleh: Dr H Wahyu Iryana
Wakil Dekan Fakultas Ekonkmi Bisnis Islam, UIN Raden Intan

RAMADHAN bukan sekadar bulan puasa. Ia adalah peristiwa peradaban. Sejak pertama kali Islam menyebar di Lampung, Ramadhan menjadi penanda keislaman masyarakat. Dari masa para ulama klasik hingga era modern, bulan suci ini selalu membawa perubahan. Jika sejarah adalah ruang bagi peristiwa-peristiwa besar, maka Ramadhan adalah waktu yang mengabadikan nilai-nilai spiritual dalam kehidupan sosial.

Lalu, bagaimana perjalanan Ramadhan dalam sejarah panjang Islam di Lampung? Bagaimana umat Islam di wilayah ini memahami, merayakan, dan memaknai bulan suci ini dari masa ke masa?

Awal Islam di Lampung: Ramadhan sebagai Pengikat Keislaman

Islam datang ke Lampung seiring dengan ekspansi dakwah para ulama dari Palembang dan Banten pada abad ke-16. Beberapa sejarawan mencatat bahwa Islam di Lampung berkembang melalui jalur perdagangan dan pernikahan antaretnis. Di tengah proses itu, Ramadhan menjadi bagian dari pembentukan identitas keislaman masyarakat.

Sumber-sumber klasik Lampung menyebut bahwa pada abad ke-17, para ulama telah menetapkan Ramadhan sebagai momen penting dalam kehidupan masyarakat. Ulama besar seperti Syekh Abdul Muhyi dari Karang, yang memiliki pengaruh besar di daerah Lampung dan Priangan, disebut-sebut sering mengajarkan amalan puasa kepada murid-muridnya.

Begitupun KH. Hanafiah Sukadana Lampung Timur yang fasih berbahasa Arab karena pernah mukim di Mekah memberi dampak yang positif terhadap maraknya kegiatan Ramadhan di Lampung.

Pada masa Kesultanan Banten yang memiliki pengaruh kuat di Lampung, Ramadhan semakin ditekankan sebagai bulan ibadah dan sosial. Penguasa setempat mendorong masyarakat untuk menjalankan puasa, mengadakan pengajian, dan memperkuat solidaritas sosial melalui zakat dan sedekah.

Tradisi Ramadhan dalam Budaya Lampung

Seiring berjalannya waktu, tradisi Ramadhan di Lampung berkembang dengan sentuhan budaya lokal. Beberapa ritual khas muncul, menggabungkan ajaran Islam dengan kearifan lokal.

Pertama, ada tradisi Ngejalang atau Ruwahan, sebuah ritual menjelang Ramadhan yang berisi doa bersama dan ziarah kubur. Tradisi ini menunjukkan penghormatan masyarakat terhadap leluhur, sekaligus sebagai bentuk penyucian diri sebelum memasuki bulan suci.

Kedua, ada tradisi Ngunjung, yaitu kebiasaan berkumpul bersama keluarga besar di awal dan akhir Ramadhan. Tradisi ini memperkuat ikatan sosial dan kekeluargaan, sesuai dengan semangat Islam yang menekankan kebersamaan.

Ketiga, ada budaya buka bersama di masjid tua. Masjid-masjid bersejarah seperti Masjid Jami’ Al-Anwar di Teluk Betung dan Masjid Baiturrahim di Kalianda menjadi pusat kegiatan Ramadhan sejak lama. Selain tempat berbuka, masjid-masjid ini juga menjadi pusat pengajaran Islam di bulan suci.

Kolonialisme dan Dinamika Ramadhan di Lampung

Sejarah Ramadhan di Lampung juga tidak lepas dari pengaruh kolonialisme Belanda. Pada abad ke-19, Belanda yang mulai menguasai Lampung sering kali membatasi aktivitas keagamaan, termasuk di bulan Ramadhan. Beberapa catatan menyebutkan bahwa pada bulan puasa, Belanda meningkatkan kontrol terhadap pesantren dan ulama, khawatir akan munculnya perlawanan dari kalangan Islam.

Namun, Ramadhan justru menjadi momen konsolidasi kekuatan umat Islam. Para ulama seperti KH Ghalib dari Kalianda dan KH Muhammad Hasan dari Lampung Tengah memanfaatkan bulan suci untuk memperkuat dakwah dan membangun jaringan perlawanan terhadap kolonialisme. Puasa di tengah tekanan penjajah menjadi simbol ketahanan dan perlawanan spiritual.

Ramadhan di Era Kemerdekaan: Peran Ulama dan Tradisi Baru

Setelah Indonesia merdeka, Ramadhan di Lampung kembali mengalami perubahan. Ulama-ulama setempat mulai menghidupkan kembali pengajian-pengajian besar di bulan puasa.

Pada era 1950-an, berkembang tradisi Tadarusan Kampung, di mana masyarakat membaca Al-Qur’an bersama-sama setelah tarawih di masjid atau surau. Tradisi ini masih bertahan hingga kini, menjadi bagian dari suasana khas Ramadhan di Lampung.

Selain itu, mulai muncul pengaruh organisasi Islam seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah dalam dinamika Ramadhan. NU lebih banyak mempertahankan tradisi lokal seperti ziarah kubur dan doa bersama, sementara Muhammadiyah mendorong pemurnian ibadah dengan menekankan pada dalil-dalil Al-Qur’an dan hadis. Meski ada perbedaan, keduanya tetap bersatu dalam semangat Ramadhan yang sama.

Ramadhan di Era Modern: Antara Tradisi dan Tantangan Baru

Di era modern, Ramadhan di Lampung semakin berwarna. Tradisi lama tetap bertahan, tetapi ada juga tantangan baru yang muncul.

Salah satu perubahan yang kentara adalah meningkatnya komersialisasi Ramadhan. Di kota-kota seperti Bandar Lampung, suasana bulan suci semakin ramai dengan bazar Ramadhan dan promosi diskon besar-besaran. Meskipun ini menambah semarak Ramadhan, ada juga kekhawatiran bahwa esensi ibadah mulai tergeser oleh budaya konsumtif.

Tantangan lain adalah digitalisasi dakwah. Jika dulu ulama mengajarkan Islam secara langsung di masjid atau pesantren, kini kajian Ramadhan banyak berpindah ke media sosial. YouTube, Instagram, dan TikTok menjadi platform baru bagi para dai untuk menyebarkan ilmu agama.

Namun, di tengah perubahan zaman, nilai-nilai Ramadhan tetap dijaga. Masjid-masjid masih penuh saat tarawih, anak-anak masih antusias mengikuti pesantren kilat, dan semangat berbagi masih tinggi melalui zakat dan sedekah.

Penutup

Sejarah panjang Ramadhan di Lampung menunjukkan bahwa bulan suci ini lebih dari sekadar kewajiban ibadah. Ia adalah bagian dari perjalanan spiritual, sosial, dan bahkan politik umat Islam di wilayah ini.

Dari masa dakwah ulama klasik hingga era digital, Ramadhan selalu menjadi momentum perubahan. Ia menyatukan masyarakat, menghidupkan nilai-nilai Islam, dan menjadi cerminan perjalanan keislaman di Lampung.

Kini, tugas kita adalah menjaga tradisi baik yang diwariskan para pendahulu, sambil tetap terbuka terhadap dinamika zaman. Ramadhan bukan hanya tentang masa lalu, tetapi juga tentang bagaimana kita memaknainya di masa depan.

Selamat menjalankan ibadah Ramadhan. Semoga kita dapat mengambil pelajaran dari sejarah dan menjadikannya bekal untuk kehidupan yang lebih baik.

Wassalam


Berlangganan berita gratis di Google News klik disini
Ikuti juga saluran kami di Whatsapp klik disini

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *