PEMBARUAN.ID – Ketika Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu dan jajaran menerima audiensi Pengurus PWI Pusat hasil Kongres Luar Biasa (KLB), ada harapan besar yang mereka bawa. Harapan untuk mengembalikan integritas pers yang sempat tercoreng oleh skandal yang menyeret organisasi wartawan tertua di Indonesia ini.
Pada pertemuan yang berlangsung di Lantai 7 Kantor Dewan Pers, Jumat (30/08/2024), hadir pula anggota Dewan Pers lainnya seperti Wakil Ketua M. Agung Dharmajaya, Ketua Komisi Pengaduan dan Penegakan Etika Pers Yadi Hendriana, serta Ketua Komisi Hukum dan Perundang-undangan Arif Zulkifli.
Di sisi lain, pengurus PWI KLB yang dipimpin oleh Zulmansyah Sekedang, bersama Ilham Bintang, Banjar Chaeruddin, dan Marah Sakti Siregar, tampak siap untuk mengemukakan hasil KLB yang telah berlangsung pada 18 Agustus lalu.
Marah Sakti, Ketua Panitia KLB, dengan tegas melaporkan bahwa KLB yang mereka adakan bukan sekadar reaksi spontan, melainkan dilaksanakan berdasarkan Peraturan Rumah Tangga (PRT) PWI Pasal 10 ayat 7.
Proses yang mereka lalui dianggap sah sesuai dengan AD/ART organisasi, apalagi setelah terbitnya Surat Keputusan DK Nomor 50/VII/DK/PWI-P/SK-SR yang memberhentikan Hendry Ch Bangun (HCB) sebagai anggota PWI.
Dalam konteks inilah, lahir PWI baru yang diharapkan dapat kembali menegakkan nilai-nilai integritas yang selama ini mulai luntur.
Namun, apa sebenarnya yang terjadi? Skandal keuangan yang dikenal dengan istilah cash back menjadi titik nadir dari kepemimpinan PWI sebelumnya. Uang organisasi yang mencapai lebih dari satu miliar rupiah, diduga digunakan sebagai cash back untuk Forum Humas BUMN.
Ketika HCB gagal menjelaskan siapa penerima manfaat dana tersebut, ia dan beberapa pengurus lainnya diberi sanksi. Inilah yang kemudian memicu penyelenggaraan KLB.
Ilham Bintang, Ketua Dewan Penasehat PWI KLB, dengan tajam menyatakan bahwa era “PWI Cash Back” telah berakhir. “PWI hasil KLB lah yang eksis dan diamanahkan untuk menjalankan roda organisasi,” tegasnya.
Ilham bahkan mengajak seluruh anggota PWI untuk meninggalkan kepengurusan lama yang dianggap telah merusak marwah organisasi.
“Mari kita semua anggota bergabung dengan PWI hasil KLB dan meninggalkan PWI cash back. Itu baru benar,” lanjutnya.
Apakah ini akhir dari cerita PWI yang lama? Atau ini hanya sebuah permulaan dari babak baru yang akan diwarnai dengan rekonsiliasi, seperti yang disinggung oleh Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu? Ia menekankan bahwa Dewan Pers tidak akan mencampuri urusan internal PWI, termasuk soal rekonsiliasi yang diusulkan.
Namun, di tengah dinamika ini, satu hal yang pasti: integritas wartawan harus ditegakkan kembali. Dengan janji dari Dewan Pers untuk segera menyelesaikan isu-isu terkait penggunaan Kantor PWI Pusat dan pelaksanaan Uji Kompetensi Wartawan (UKW) secara mandiri, masa depan PWI berada di persimpangan yang kritis.
Akankah mereka mampu melepaskan diri dari bayang-bayang cash back dan kembali kepada prinsip-prinsip yang selama ini dijunjung tinggi oleh profesi jurnalisme?
Inilah tantangan yang kini berada di hadapan kita semua, dan sejarah akan mencatat bagaimana PWI bangkit dari keterpurukan untuk sekali lagi menjadi pilar penting dalam menjaga kemerdekaan pers di Indonesia. (***)