DALAM perjalanan hidup, kita seringkali dihadapkan pada pilihan-pilihan yang menentukan arah langkah kita selanjutnya. Seperti buah yang hijau, lambat laun menguning, menandakan kematangan, begitulah transformasi yang terjadi pada diri H Noverisman Subing, SH., MH.
Bukan hanya sebuah langkah politik, melainkan sebuah simbol kematangan, setidaknya bagi para pengamat politik yang mengamati setiap gerak-geriknya.
Keputusan Nover untuk kembali ke Partai Golkar setelah meninggalkan PKB bukanlah hal yang sepele. Ini adalah langkah berani dan penuh perhitungan, yang membuat banyak pihak terkejut. Namun, dalam politik, kejutan adalah bagian dari permainan.
Layaknya seorang petualang yang bosan dengan zona nyamannya, Nover memilih untuk keluar dari bayang-bayang PKB yang tak lagi memberinya ruang untuk maju sebagai Bupati Lampung Timur.
Dalam gemerlap dunia politik yang penuh intrik dan manuver, keputusan Nover bukan hanya soal pindah partai. Ini adalah cerminan dari perjalanan panjang dan pemahaman mendalam tentang peta politik lokal.
Banyak yang melihat ini sebagai tindakan berani dan penuh tekad. Namun, ada juga yang melihat ini sebagai cerminan ketidakpuasan Nover terhadap PKB yang tak memberinya kesempatan untuk bersinar.
Di tengah-tengah pujian yang mengalir untuk langkahnya, ada kerutan di dahi beberapa orang. Mereka mempertanyakan loyalitas dan konsistensi seorang politisi yang sering berpindah partai.
Apakah Nover mampu mengatasi skeptisisme ini dan membuktikan bahwa keputusannya adalah yang terbaik untuk dirinya dan masyarakat Lampung Timur? Ataukah ini hanya menambah panjang daftar politisi yang loncat-loncat demi ambisi pribadi?
Dalam kancah politik yang dinamis, setiap langkah dan keputusan memiliki implikasi yang luas. Transformasi warna dari hijau ke kuning adalah simbol kematangan, bukan hanya bagi Noverisman Subing, tetapi juga bagi politik di Lampung Timur yang terus beradaptasi dengan realitas dan tantangan zaman. Atau lebih tepatnya, simbol betapa fleksibelnya politisi kita.
Tetapi, apakah benar ini soal kematangan? Ataukah ini hanya strategi dalam permainan catur politik, di mana setiap bidak harus tahu kapan melangkah maju dan kapan mundur? Yang jelas, ada komunikasi yang tersumbat dalam kepemimpinan Chusnunia Chalim di PKB. Keluarnya Nover, adalah gambaran nyata dari hal-hal yang tidak selesai, terselubung dalam bayang-bayang partai.
Mungkin ada rencana yang disiapkan oleh Nunik –sapaan akrab Chusnunia– untuk Nover. Tapi, mengapa tidak terkomunikasi? Atau justru lebih jahat, sengaja dibiarkan. Politik macam apa itu? Jika kader yang potensial justru dibiarkan pergi. Bukankah politik itu kemanfaatan? Kumpulkan sebanyak mungkin kekuatan yang bisa dimanfaatkan. Tapi di sini, tampaknya, politik lebih mirip dengan drama tanpa akhir.
Ya, pilihan tetaplah pilihan. Siapa pun berhak atas apa yang dia anggap benar. Bagi Nover, keputusan kembali ke Golkar mungkin adalah jalan terbaik yang bisa ia pilih saat ini. Sebuah langkah yang diambil dengan penuh kesadaran, meski diiringi dengan berbagai spekulasi dan kritik. Baginya, ini bukan sekadar soal warna partai, tetapi tentang ruang untuk berkontribusi dan berjuang.
Dalam dunia yang penuh ketidakpastian, setiap orang harus berani mengambil langkah. Nover memilih untuk tidak hanya berdiri di satu tempat. Dalam politik, kematangan sering kali diukur bukan dari seberapa lama seseorang berada di satu partai, tetapi seberapa banyak ia belajar dari setiap keputusan yang diambil. Bagi Nover, pindah ke Golkar mungkin adalah cerminan dari kematangan itu.
Perjalanan ini belum berakhir. Tantangan terbesar masih menanti. Bagaimana Nover akan menjawab skeptisisme dan kritik yang datang dari berbagai arah? Bagaimana ia akan membuktikan bahwa keputusannya bukan sekadar langkah pragmatis, tetapi benar-benar demi kebaikan masyarakat Lampung Timur? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini akan terungkap seiring waktu berjalan.
Politik, bagaimanapun, adalah seni kemungkinan. Di dalamnya, setiap pilihan membawa konsekuensi. Setiap langkah menuntut keberanian dan keyakinan. Nover telah mengambil langkahnya, kini ia harus berjalan di jalur yang telah ia pilih, menghadapi segala rintangan dan peluang yang ada di depan.
Mungkin, di balik semua ini, ada pelajaran berharga tentang kematangan dan keberanian. Bahwa dalam hidup, kita harus berani membuat pilihan, meski pilihan itu tidak selalu populer. Bahwa kadang, kita harus keluar dari zona nyaman untuk menemukan makna sejati dari perjuangan.
Dan seperti daun yang menguning di musim gugur, perubahan itu tidak bisa dihindari. Itu adalah bagian dari siklus kehidupan. Noverisman Subing telah memilih jalannya, dan kini, saatnya bagi kita untuk melihat bagaimana cerita ini akan berakhir.
Apakah ini akan menjadi cerita tentang kematangan dan keberanian, atau hanya salah satu dari banyak manuver dalam panggung politik yang tak pernah sepi.
Yang pasti, perjalanan ini adalah bukti bahwa dalam politik, seperti dalam hidup, pilihan tetaplah pilihan. Siapa pun berhak atas apa yang dia anggap benar. Dan mungkin, di situlah letak kematangan yang sejati.
Wallahualam