logo pembaruan
list

Sejarah Buruk

Facebook
Twitter
WhatsApp

MUNGKIN terlalu berlebihan jika saya katakan event Pekan Olahraga Nasional (Porwanas) 2024 yang digelar di Banjar Masin, Kalimantan Selatan adalah yang terburuk.

Kenyataan yang saya dan banyak kontingen rasakan memang buruk. Terlalu banyak hal yang tidak beres dalam penyelenggaraan Porwanas 2024 di Kota Seribu Wali ini. Atau mungkin kita memang sedang menyaksikan puncak dari sejarah buruk yang terus diabaikan?

Sejak hari pertama, Porwanas 2024 sudah menunjukkan ketidaksiapan panitia yang mencolok. Panitia yang seharusnya menjamin kelancaran acara justru memperlihatkan ketidakprofesionalan dengan pilihan beberapa venue yang tidak refresentatif dan jadwal yang berubah-ubah. Ini bukan sekadar ketidaksempurnaan, tetapi kelalaian yang tidak bisa dimaafkan.

Yang lebih menyakitkan adalah absennya Menpora RI pada upacara pembukaan. Apakah ini mencerminkan ketidakpedulian pemerintah terhadap insan pers? Atau mungkin ini adalah dampak dari perpecahan internal dalam tubuh organisasi profesi yang seharusnya menjaga marwah jurnalistik? Kami, wartawan dari daerah, yang datang dengan susah payah untuk berpartisipasi, malah menjadi korban dari drama yang tak berkesudahan di tingkat pusat.

Kami datang dari pulau yang berbeda. Tak kurang dari 125 orang kami hadirkan ke Banjarmasin, melintasi selat dan samudra, dengan dua kali transit. Bukan hanya biaya yang kami keluarkan, tetapi juga semangat dan harapan yang kami tumpahkan, hanya untuk disambut dengan kekecewaan.

Anggaran besar yang seharusnya digunakan untuk menyiapkan event bertaraf nasional agar menyelenggaraannya bermartabat, seolah menguap begitu saja. Alih-alih mendapatkan penyelenggaraan yang bermartabat, kami disuguhi venue yang jauh dari kata representatif dan fasilitas dasar yang memprihatinkan. Ini mencerminkan buruknya manajemen dan pengelolaan sumber daya.

Keputusan untuk tidak memberikan medali kepada pemain cadangan adalah penghinaan nyata terhadap upaya dan kontribusi mereka. Sejak kapan kita mulai membedakan atlet hanya berdasarkan menit bermain di arena? Ini adalah indikasi jelas dari rusaknya nilai-nilai sportifitas yang seharusnya dijunjung tinggi.

Keberpihakan panitia pada atlet tuan rumah semakin mencederai integritas kompetisi. Beberapa cabang olahraga berubah menjadi arena kecurangan yang mencolok yang berujung perdebatan, ditambah kehadiran atlet yang diragukan status kewartawanannya. Bagaimana mungkin mereka bisa berlaga dalam kompetisi yang seharusnya menjadi milik wartawan sejati? Ini adalah pelecehan terhadap profesi yang kami junjung tinggi.

Di balik senyuman palsu dan pidato kosong, Porwanas 2024 meninggalkan jejak kelam yang sulit dihapus. Ini lebih dari sekadar sebuah event olahraga; ini adalah cerminan dari sistem yang sedang sakit, yang membutuhkan perubahan mendasar. Tanpa reformasi signifikan, sejarah buruk ini akan terus berulang, menjadi mimpi buruk yang tak kunjung berakhir.

Wallahualam

Leave a Comment

Berita Terkait

Copyright © pembaruan.id
All right reserved