MARI kita bicara tentang kemiskinan—sebuah kata yang mungkin sering kita dengar, namun memiliki makna mendalam bagi jutaan masyarakat di Lampung.
Di balik angka-angka, statistik, dan grafik yang kerap tampak kaku, ada wajah-wajah warga yang menaruh harapan pada perubahan. Tahun ini, data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Lampung mencatat kabar baik: jumlah penduduk miskin menurun selama masa kepemimpinan Arinal Djunaidi.
Sebuah pencapaian yang patut direnungkan, namun juga tak seharusnya dianggap sekadar angka.
Pada 2023, BPS mencatat 970,67 ribu penduduk Lampung berada dalam garis kemiskinan. Setahun kemudian, di 2024, angka itu turun menjadi 941,23 ribu, sekitar 10,69 persen dari total penduduk.
Penurunan sebesar 29 ribu jiwa mungkin terdengar sederhana, namun bagi orang-orang itu, ini adalah secercah perubahan dalam keseharian yang penuh tantangan.
Di balik angka-angka ini, kita melihat upaya pemerintah daerah untuk memperjuangkan komitmen mereka: mengurangi kemiskinan, menciptakan kehidupan yang lebih layak bagi warganya.
Namun, angka-angka ini juga menyingkap perbedaan besar di antara daerah-daerah di Lampung. Misalnya, Lampung Timur mencatat jumlah penduduk miskin tertinggi, mencapai 142,69 ribu jiwa atau 13,19 persen.
Di sisi lain, Kota Metro dengan 12,07 ribu jiwa atau 6,78 persen menjadi daerah dengan jumlah penduduk miskin terendah. Ini menunjukkan ketimpangan yang tak boleh kita abaikan; setiap daerah membutuhkan pendekatan dan strategi yang berbeda untuk menyentuh masyarakat yang paling rentan.
Mari kita selami sejenak batasan garis kemiskinan yang ditetapkan BPS. Pada 2024, seseorang dianggap miskin jika pengeluarannya kurang dari Rp 582.932 per bulan.
Dari jumlah itu, Rp 433.906 dialokasikan untuk pangan, sementara sisanya untuk kebutuhan lain. Bayangkan, hidup dengan anggaran ini untuk memenuhi kebutuhan dasar—makanan, tempat tinggal, kesehatan, pendidikan.
Ini bukan sekadar hitungan angka; ini adalah realitas yang dialami mereka yang hidup di garis batas, mencoba bertahan di tengah kondisi serba terbatas.
Apa makna dari penurunan angka ini? Ini adalah secuil kemajuan yang perlu kita apresiasi. Beragam program pemerintah di masa Arinal Djunaidi, mulai dari ketahanan pangan hingga infrastruktur, tampaknya membuahkan hasil.
Namun, ini barulah awal dari perjalanan panjang menuju kesejahteraan yang merata. Tantangannya adalah bagaimana menjaga angka ini agar tak hanya sementara, bagaimana memastikan keluarga-keluarga yang baru saja melewati garis kemiskinan tidak kembali tergelincir.
Masa depan kesejahteraan Lampung bergantung pada kita semua. Perubahan bukan sekadar hasil dari program-program pemerintah, tetapi kolaborasi seluruh masyarakat. Karena di balik setiap angka yang turun, ada kehidupan yang berubah, ada harapan yang tumbuh.
Ingat, kemiskinan bukan sekedar angka—ini soal keadilan dan martabat manusia yang layak diperjuangkan oleh kita semua.
Wallahualam