logo pembaruan
list

Asal-Asalan

Facebook
Twitter
WhatsApp

MENYEDIHKAN, tapi inilah kenyataan yang kita hadapi di era digital saat ini. Media yang seharusnya menjadi sumber edukasi dan informasi justru semakin banyak yang lahir dengan kualitas asal-asalan.

Dengan kemajuan teknologi, siapa pun kini bisa menjadi “jurnalis” hanya dengan bermodalkan perangkat pintar. Namun, di balik kemudahan tersebut, lahirlah media-media yang minim kontrol, baik dari segi kualitas konten maupun etika jurnalistik.

Fenomena ini menjadi alarm bagi dunia jurnalisme. Alih-alih menyajikan informasi yang akurat dan berimbang, banyak media justru terjebak dalam sensasi, menyebarkan informasi yang tidak jelas asal-usulnya.

Tak jarang kita temukan berita dengan ejaan kacau, sistematika yang berantakan, bahkan penggunaan kata yang salah kaprah. Misalnya, saya pernah menemukan penulisan kata “Silatuh Rahmi” yang jelas-jelas merujuk pada silaturrahmi, namun tanpa ada upaya untuk mengecek atau memperbaiki kesalahan tersebut.

Ironisnya, media-media ini kerap mendapatkan perhatian luas. Di tengah arus informasi yang begitu cepat, publik sering kali tidak sempat memverifikasi kebenaran informasi yang mereka terima.

Dengan klik yang mudah dan akses instan, berita-berita asal-asalan ini bisa dengan cepat menyebar, meninggalkan dampak buruk bagi pembaca yang tak disadari. Media yang seharusnya menjadi pilar edukatif kini justru berkontribusi pada penyebaran informasi yang menyesatkan.

Sebagai jurnalis, kita memiliki tanggung jawab besar dalam menjaga kualitas konten yang kita hasilkan. Menulis bukan sekadar menyusun kata-kata, melainkan sebuah proses yang memerlukan ketelitian dan komitmen terhadap kebenaran.

Bukan hanya menyampaikan fakta, tetapi juga memastikan bahwa setiap informasi yang disajikan ditulis dengan bahasa yang baik dan benar. Ejaan yang salah, struktur kalimat yang kacau, serta sistematika yang berantakan bukanlah sekadar masalah kecil. Ini adalah cerminan dari betapa longgarnya proses editorial yang seharusnya menjadi benteng terakhir sebelum sebuah berita diterbitkan.

Jurnalisme adalah profesi yang membutuhkan dedikasi dan pembelajaran berkelanjutan. Seorang jurnalis harus terus belajar menulis dan membaca. Dengan membaca, kita mengasah kemampuan kita untuk memahami bahasa, meningkatkan keterampilan menulis, dan memperbaiki cara penyampaian informasi. Tanpa proses ini, jurnalisme akan kehilangan marwahnya, menjadi sekadar pengganda berita yang asal-asalan.

Kita, sebagai pembaca dan pelaku industri media, harus sama-sama introspeksi. Munculnya media-media asal-asalan ini tidak lepas dari tanggung jawab kita semua. Kita perlu mendorong agar jurnalisme kembali pada esensinya: menyampaikan informasi yang benar, tepat, dan dapat dipertanggungjawabkan. Media harus kembali pada fungsi utamanya sebagai penjaga kebenaran dan edukator masyarakat, bukan sekadar pemburu klik atau sensasi semata.

Perubahan ini mungkin membutuhkan waktu dan usaha, tapi itu bukan alasan untuk membiarkan kemunduran ini terus terjadi. Sebagai bangsa yang bangga dengan kekayaan budaya dan bahasa, kita punya tanggung jawab moral untuk menjaga kualitas informasi yang kita terima dan sampaikan. Jika tidak, jurnalisme yang asal-asalan hanya akan semakin menjauhkan kita dari kebenaran.

Wallahualam

Leave a Comment

Berita Terkait

Copyright © pembaruan.id
All right reserved

iklan pembaruan.id