PEMBARUAN.ID – Surabaya Sabtu (29/11/2025) sore seperti sedang menahan embusan napasnya. Awan menggantung rendah di atas kantor PWNU Jawa Timur, seolah ingin menjadi saksi dari percakapan yang tidak hanya penting, tetapi juga menentukan arah sebuah organisasi sebesar Nahdlatul Ulama. Di ruang pertemuan, enam belas Rais Syuriyah PWNU duduk dalam satu lingkaran—lengkap, tak ada lagi kursi yang kosong seperti pada pertemuan sebelumnya di Hotel Sultan.
Mereka datang bukan hanya membawa nama, tetapi juga amanah. Dan sore itu, amanah tersebut menemukan ruang untuk diperjelas.
Rais Aam PBNU KH Miftachul Akhyar membuka pertemuan dengan suara yang tenang, namun terasa tegas dari awal hingga ujung. “Saya perlu menyampaikan kepada panjenengan semua,” ujarnya sambil menatap satu per satu yang hadir, “bahwa Gus Yahya telah diberhentikan sejak tanggal 26 November 2025, tepat pukul 00.45.”
Waktu yang begitu presisi itu kemudian dijelaskan secara rinci oleh Prof. Dr. M. Nuh. “Penetapan waktu ini bukan asal menunjuk. Ada proses, ada dasar, dan semuanya sudah kami jelaskan tadi,” tegasnya.
Di ruangan itu, suasana hening sejenak. Ada yang menghela napas, ada pula yang mengangguk pelan. Tidak ada kemarahan, tidak ada sorakan. Hanya kesadaran bahwa keputusan besar memang tidak selalu datang dengan riuh.
Rais Aam kemudian meluruskan kabar yang sempat beredar. “Tidak ada islah, karena memang tidak ada konflik pribadi antara saya dan Gus Yahya,” katanya. “Ini murni soal pelanggaran berat. Soal amanah yang tidak bisa ditawar.”
Ia juga menepis anggapan bahwa PBNU mengambil langkah tanpa tabayyun. “Sebelum rapat harian Syuriyah tanggal 20 November, sudah ada pertemuan empat mata antara saya dan Gus Yahya. Tabayyun itu sudah dilakukan. Jawaban lisan dan tertulis sudah saya terima,” tuturnya.
Dari proses itulah, keputusan diambil. “Rapat Syuriyah memutuskan untuk memberhentikan beliau. Keputusan itu bukan lahir dari ruang kosong,” tambah Rais Aam.
Meski demikian, Rais Aam memastikan bahwa struktur PBNU tidak berubah. “Pengurus tetap. Hanya jabatan Ketua Umum yang kini kosong. Untuk sementara saya yang memegangnya,” ujarnya.
Di sudut lain ruangan, seorang Rais Syuriyah mengangguk pelan, seolah menyetujui bahwa tanggung jawab itu memang harus segera dibereskan agar tidak mengambang.
Rais Aam juga menegaskan bahwa dua nama penting di tubuh PBNU tetap pada posisinya. “Gus Saifullah Yusuf masih Sekjen. Gus Gudfan tetap Bendahara Umum. Tidak ada yang berubah,” katanya menutup pembicaraan.
Di luar gedung, angin sore menyapu halaman seperti membawa pergi kegelisahan yang sempat muncul beberapa hari terakhir. Pertemuan itu selesai tanpa tepuk tangan, tanpa seremoni.
Namun di hati mereka yang hadir, keputusan hari itu adalah penanda bahwa rumah besar ini harus terus dijaga—meski terkadang ada pintu yang harus ditutup agar rumah tetap berdiri kokoh. (***/red)














